Dikara. Ia punya banyak mimpi. Menjadi pesepak bola yang handal, menjadi kapten tim, bergabung dengan timnas Indonesia lantas membuat harum negaranya dengan satu-satunya keahlian yang dimiliki. Atau bisa juga menjadi salah satu anak Indonesia yang berhasil bergabung dengan MBA diajang basket Internasional. Meskipun tidak bisa sepintar dan secerdas sang Kakak, setidaknya kekuatan fisiknya yang kuat bisa memumpuni segala mimpinya dan membuat kedua orangtuanya bangga.
Tapi itu dulu. Sebelum pelik kehidupan dan takdir yang memukul mundur Dika, serta memaksanya untuk merelakan segala mimpinya. Seperti topan ganas yang menerjang Dika, dengan egois semesta merampas hidup dan masa depan Dika.
Dikara, kini hanyalah sekumpulan patah asa yang setiap harinya menghitung sisa-sisa detik dalam detaknya untuk terus hidup. Terkurung dalam ruang hampa juga pupus yang sudah bertahun-tahun membelenggu dirinya, sambil menerka-nerka apakah hari esok masih ada untuknya atau tidak.
Atau bahkan hal yang paling mustahil sekalipun, apa bisa ia berteman seperti layaknya remaja seumurannya, berbagi mimpi tentang apa saja yang akan mereka lakukan dimasa depan. Tapi bahkan untuk sekedar bangun esok hari saja, Dika sudah merasa beruntung. Dika yang kini, tidak ada lagi alasannya untuk bisa memikirkan masa depan.
Dika yang kesepian. Dika yang kelam tanpa seorangpun teman. Dulu, dulu sekali sebelum takdir memorak-porandakan hidup Dika, ia adalah sosok penuh warna disetiap binar matanya, membuat siapapun merasa senang berteman dengan Dika. Meskipun tetap teman ternyaman untuknya berbagi adalah sang Kakak, tapi sikap ramah dan cerianya, membuat Dika selalu dikelilingi teman-teman yang baik. Hingga hari itu, hari dimana ia melepaskan segala mimpinya. Maka dengan terpaksa, Dika juga membuat jarak tak kasat mata dengan teman-temannya yang dulu.
Hanya ada satu yang masih mau bertahan untuk berdiri tegak disisinya meskipun banyak penolakan Dika lontarkan. Bukan apa, entah bagaimana, kekejaman semesta membuatnya membenci manusia, kecuali mama dan papa. Dan itu berarti, termasuk sang Kakak.
Namanya Adam. Sahabat si kembar dari kecil dan juga orang yang selalu ada disekitar Dika meskipun selalu mendapat penolakan. Satu-satunya sosok yang bisa bersabar dan betah menghadapi Dika dan segala keputus asaannya terhadap hidup. Bukan berarti Aksa tidak bisa sabar menghadapi Dika hingga jarak itu tercipta, justru jarak itulah bukti betapa luas kesabaran Aksa, sehingga membuatnya harus bersabar sedikit demi sedikit mengikis jarak itu. Meskipun terkadang, lebih banyak waktu Aksa habiskan untuk memilih diam ditempat.
Sore itu, Dika sedang duduk dengan kaki bersila diatas kursi, menikmati angin sore dari balkon kamarnya. Kedua manik legamnya fokus pada tab yang menampilkan permainan puzzle dengan 750 potongan puzzle yang harus ia pecahkan. Semenjak ia harus menghabiskan banyak waktu di dalam bilik hampa itu, puzzle adalah satu-satunya yang bisa melepas penatnya. Membuat fokusnya benar-benar terkunci pada potongan-potongan yang harus ia pecahkan.
Samar, bisa ia tangkap suara dua orang yang sedang berbincang ria, lantas suara pintu dari kamar sebelah yang terbuka kemudian tertutup lagi.
Kini, beralih pada pintu kamarnya yang dibuka secara tiba-tiba tanpa diketuk lebih dulu. Tindakan kecil yang berhasil membuat Dika berjengit kaget dengan manik membola menatap lekat ke arah pintu.
"Berharap gue Aksa?" Ujar Adam. Langkah lebarnya menuntun Adam mendekati sosok di balkon. Tidak lupa ia meraih selimut dari atas kasur.
Dika masih dalam posisi diamnya, mengusap pelan dada kirinya yang lagi-lagi berdetak tidak karuan dan menyebabkan nyeri. Lalu Dika menatap tajam sosok yang baru saja masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi. Ia mendengus kesal.
"Ngapain?" Sarkas Dika.
"Jangan galak-galak, Ka. Kasian jantung lo." Adam mendekati Dika, menyampirkan selimut tebal di tubuh cowok kurus tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
SILHOUETTE ✅
Ficção AdolescenteBook I of AKSARA DIKARA ______ Dika, jangan bersedih. Takdir memang terlalu kejam membuatmu harus terkurung dalam cangkang patah asa. Membuat semua mimpimu berakhir pupus tak bersisa. Tapi, Dika. Aku ingin kamu tahu, ada aku yang bisa kamu benci se...