- 29 -

1.5K 183 32
                                    

Matahari yang menyongsong cerah diluar sana seolah menggambarkan perasaan mama pagi ini. Suara mama yang bersenandung dari arah dapur bahkan mampu mengalahkan kicauan burung yang saling bersahutan seolah membentuk sebuah irama semesta.

Tangan mungil Ratna dengan urat-urat yang menonjol, juga garis halus yang mulai nampak terlalu sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya.

Aksa dan Dika berjalan saling beriringan menuruni setiap anak tangga, sedang tertawa satu sama lain entah sedang membicarakan hal apa.

Pras menjadi yang pertama kali sampai di meja makan, memperhatikan betapa dapur mereka hari ini benar-benar ramai dengan banyaknya bahan makanan yang entah sejak kapan Ratna siapkan.

"Wahh, makan-makan, nih?" tangan nakal Pras mencomot sepotong coklat batang yang sudah disiapkan oleh Ratna.

"Mas, ih! Itu udah sesuai takaran, jangan dicomot!" tegur Ratna sambil menyingkirkan tangan Pras yang sudah siap untuk aksi yang lain.

"Besok, kan dua jagoan mama ulang tahun. Mama mau adain syukuran kecil-kecilan, dong. Kita sekeluarga, sama ajak teman-teman Aksa. Bisa, kan, bang?"

Aksa yang baru sampai langsung mengangguk mantap, tidak lupa dengan senyuman yang menandakan bahagianya. Ulang tahun kali ini akan berbeda dari tahun-tahun kemarin.

"Kamu mau hadiah apa, dek?" Aksa melirik Dika yang sudah duduk disampingnya. Sama seperti Aksa, kedua orang tuanya juga menantikan jawaban Dika.

Berbeda dengan tahun-tahun kemarin, mungkin ini akan menjadi kali pertama Dika mengatakan keinginannya di ulang tahun mereka yang ke 17, setelah semua harapnya pernah hilang 6 tahun yang lalu.

Dika, jemarinya mengetuk meja, tampak berpikir sebentar, lantas mengangkat bahunya acuh, "Apa aja, deh"

Mama, Aksa dan bahkan juga papa mendengus, terdengar kecewa dengan jawaban Dika yang sangat tidak menarik. Tidakkah dia melihat tiga orang dihadapannya ini sangat antusias?

"Abangnya enggak ditanyain, dek?" kali ini papa yang bersuara. Menatap harap pada Dika.

Dika menoleh pada Aksa disampingnya dengan dahi yang menekuk dalam, lagi-lagi tampak seperti sedang berpikir. Beda dengan Aksa yang sudah antusias menunggu pertanyaan itu dari Dika.

Tapi Dika itu memang susah ditebak, ucapan Dika selanjutnya benar-benar membuat mama dan papa mendesah napas kasar.

"Aku aja udah cukup, kan, bang?"

Tawa Aksa benar-benar pecah, tidak percaya adiknya akan mengucapkan hal menggelikan seperti itu. Juga kekehan Dika yang ikut menghangatkan suasana pagi di meja makan.

Aksa kemudian mendekati Dika, menarik sosok dengan paras sepertinya itu kedalam pelukan, "Iyaa, kamu aja udah cukup. Yang penting Dika sehat-sehat terus itu udah jadi hadiah paling berharga buat aku."

Bukannya terharu, Dika justru mendorong tubuh abangnya menjauh, "Apasih? Masih pagi, enggak usah melow!"

Yang lagi-lagi memancing Aksa juga dua paruh baya disana terkekeh.

Suasana pagi itu terlalu hangat untuk sekedar dilalui begitu saja. Membuat Aksa lamat-lamat merekam setiap tawa disana. Rasanya sangat menyenangkan, seolah semua yang ia perjuangkan bermuara pada tujuan yang seharusnya.

Juga Dika. Netranya menelisik dalam pada setiap wajah didepannya. Membuatnya diam-diam berucap syukur dengan apa yang dimilikinya saat ini. Terlepas dari semua cacatnya, ada keluarga yang berhasil menopangnya untuk tidak jatuh terlalu dalam.

Mereka sama-sama berjuang, sama-sama bertahan untuk saling menguatkan. Maka sudah sepantasnya semua berjalan sesuai dengan apa yang mereka perjuangkan.

SILHOUETTE ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang