Mohon maap bila typo bertebaran dimana-mana. Malas ngecek soalnya😆
***
"Aksara hanya kecapekan saja, apalagi sistem imunnya memang sejak dulu lemah. Tubuhnya tidak boleh terlalu diforsir," seorang Dokter dengan nametag Irvan yang tertera pada snelli putihnya itu berucap, tatapannya beralih dari Adam yang berdiri didepannya pada Aksara yang sedang duduk sambil kakinya ia biarkan menggantung dari atas brankar.
"Jadi, Aksa, nanti kamu banyakin istirahat dulu, yah. Saya akan kasih kamu beberapa resep vitamin untuk jaga stamina kamu. Tunggu sampai cairan infusnya habis baru kamu boleh pulang." Lanjut Dokter Irvan. Aksa hanya menjawab dengan anggukan juga senyum ramahnya. Setelahnya, Dokter tersebut meninggalkan ruangan Aksa.
Kali ini Adam menoleh ke sampingnya, menatap lekat cowok yang bahkan sudah ia anggap sebagai saudaranya tersebut. Manik keduanya saling bertemu, dengan tatapan Adam yang tidak dapat Aksa artikan. Sedetik kemudian, Aksa mengangkat bahunya sambil tersenyum kearah Adam.
"See? Gue bilang juga apa. Kecapekan doang, gak ada masalah serius, kok."
Ucapan Aksa lagi-lagi membuat Adam berdecak keras. Sahabatnya yang satu ini benar-benar keras kepala, bahkan meskipun hanya sekedar kecapekan, tetap saja Annisa yang menelpon dengan suara panik pada Adam, mengatakan Aksa yang tidak bangun-bangun mampu membuat jantung Adam berpacu sangat cepat tadi.
Adam mendekat dengan cepat ketika melihat tangan Aksa bergerak untuk mempercepat laju cairan infusnya, lantas segera menahannya.
"Gue udah sering bilang 'kan, Sa. Tubuh lo juga berhak diperhatiin, jangan terlalu sok sibuk!"
"Enak aja ngatain gue sok sibuk! Emang lo pikir gue pura-pura sibuknya? Lo gak liat schedule gue ngalahin presiden?"
"Ck! Salah sendiri numpuk pekerjaan. Lo juga tadi siang dimarahin coach karna ngilang tanpa kabar dan batal ikut tanding basket, 'kan?" Aksa tersenyum miris. Padahal ia sengaja tidak memberitahu Adam, siapa sangka Adam ternyata punya koneksi yang luas kalau sudah menyangkut urusan Aksa.
"Jangan lo pikir bisa nyembunyiin sesuatu dari gue, Sa. Sedalam apapun itu, gue bakal cari tau." Adam menepuk bahu Aksa pelan, "Tunggu disini, gue nebus obat lo dulu. Selang infusnya jangan di nakal, kalo tangan lo bengkak nanti Om sama Tante makin curiga." Aksa hanya terkekeh pelan. Tidak lagi menjawab dan mebiarkan Adam berlalu meninggalkan ruangannya.
Adam sudah terlalu hapal tipikal Aksa yang tidak ingin membuat khawatir kedua orang tuanya. Meskipun tahu hal itu tidak seharusnya Aksa lakukan, tetap saja Adam tidak tega untuk tidak menurutinya, dengan syarat biarkan dirinya tahu agar ia bisa menjaga Aksa dan memastikan anak itu baik-baik saja.
Aksa mendesah pelan, kembali membaringkan tubuhnya diatas brankar. Dibiarkannya rasa nyaman merengkuh relungnya, meskipun sepi yang terlalu jelas dari sunyi yang tercipta disetiap sudut ruangan membuat Aksa selalu merasa sendiri, setidaknya, mereka yang Aksa sayangi selalu baik-baik saja. Sekali lagi, bagi Aksa itu sudah cukup.
Aksa memejam, bayangan Aksa tentang kehadiran kedua orang tuanya disisinya kini membuat pejam Aksa semakin damai. Meskipun hanya sejenak rasa egois itu merambat mulai menggerogoti sanubarinya, dengan cepat Aksa menepisnya. Kembali menyadarkan dirinya bahwa masih ada Dika yang lebih membutuhkan Mama dan Papa daripada dirinya. Aksa seharusnya tahu, kesakitan Dika selamanya tidak akan sebanding dengan apa yang ia rasakan, setelah semua yang telah semesta rebut dengan paksa dari Dika, Aksa semakin menancapkan dengan kuat dalam hatinya, bahwa ia tidak berhak memiliki apapun.
Pintu ruangan terbuka, membuat Aksa menoleh ke arah sosok yang baru saja memasuki ruangan tersebut, manik keduanya kembali bertemu. Adam dapat dengan langsung menangkap sesuatu yang aneh dari tatapan Aksa kini, segera ia mendekati brankar Aksa, meletakkan plastik dengan berbagai jenis obat didalamnya itu keatas nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILHOUETTE ✅
Teen FictionBook I of AKSARA DIKARA ______ Dika, jangan bersedih. Takdir memang terlalu kejam membuatmu harus terkurung dalam cangkang patah asa. Membuat semua mimpimu berakhir pupus tak bersisa. Tapi, Dika. Aku ingin kamu tahu, ada aku yang bisa kamu benci se...