Derap langkah kaki Aksa yang menuruni tangga mencuri perhatian keluarganya yang sedang duduk di meja makan. Papa lebih dulu menyapa anak itu, padahal kemarin ia sudah izin untuk menginap di rumah Adam untuk belajar.
"Abang? kapan pulang, nak?" tanya Pras sedikit meninggikan suaranya karena jarak keduanya cukup jauh.
"Semalam, Pa. Dadakan emang, kemarin buku yang aku bawa ke rumah Adam nggak lengkap," ujar Aksa berbohong. Ia masih duduk pada anak tangga terakhir untuk memperbaiki ikatan tali sepatunya.
"Kamu sakit? Kok pakai jaket?" pertanyaan Pras membuat Aksa menghentikan aktifitasnya.
Ia mengerjap, berharap otaknya yang kata orang cerdas itu bisa membantunya di situasi sekarang. Pasalnya, Aksa sengaja memakai jaket karena tidak ingin mMama dan Papa melihat lengan kirinya yang diperban. Bisa panjang sesi interogasinya nanti, apalagi Aksa mendapatkan luka sayatan tersebut dengan cara tidak elit. Ah, mengingat kejadian itu Aksa benar-benar malu.
"A— aku ... flu, Pa. Semalam masuk angin kayaknya. Uhukk ... uhuk!" Jawab Aksa sambil pura-pura terbatuk, seolah benar saja ia sedang flu.
Pras hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kelakuan anaknya, "Lain kali jangan nekat pulang tengah malam. Kan bisa minta tolong mang Cipto bawain ke sekolah. Yaudah, skarang ayok sarapan dulu."
Aksa berdiri setelah selesai mengikat tali sepatunya, menoleh sejenak ke arah meja makan, sampai netra legamnya tidak sengaja bertemu tatap dengan manik yang sama persis dengan miliknya. Kejadian semalam kembali terngiang dalam ingatan Aksa, ia mendesah pelan. Untuk pertama kali menjadi yang pertama memalingkan wajahnya dari bersitatap dengan Dika, meskipun begitu, tetap saja rasanya justru ia sedang menyakiti diri sendiri.
"Aku sarapan di sekolah aja. Pergi dulu, Assalamu alaikum."
Dengan segera Aksa meninggalkan kediamannya. Tanpa Aksa sadari, bahkan sosok yang sedari tadi menatapnya tidak sekalipun memalingkan netranya dari punggung tegap Aksa. Sampai sosok Aksa menghilang dari pandangannya, tatapan itu masih enggan berpaling.
*
Bisa dibilang mood Aksa hari ini benar-benar sedang tidak baik. Ia merasa kurang tidur karena semalam baru bisa terlelap sekitar pukul setengah empat subuh dan terbangun hampir jam 6 pagi. Aksa harus buru-buru ke kamar mandi untuk wudhu, bahkan karena terlambat bangun ia harus rela meninggalkan 2 rakaat sunnah sebelum subuh yang rutin ia kerjakan. Belum lagi kejadian bersama Dika yang masih saja terngiang dalam ingatannya, membuat Aksa tampak nyata menyadari betapa tidak bergunanya ia menjadi seorang Kakak, bahkan Adik satu-satunya menolak kehadiran Aksa.
Mood Aksa yang hancur ternyata berpengaruh besar pada latihan footsalnya siang ini. Aksa kerap kali bermain dengan tangannya, entah itu mendorong pemain lain, atau tidak membiarkan orang lain merebut bola darinya, bahkan teman se-timnya sekali pun.
Banyak dari mereka mengeluhkan cara bermain Aksa hari ini yang bisa dibilang cukup kasar. Bahkan Adam sekalipun kesal dengan tingkah Aksa siang ini. Tidak sampai disitu, keeper juga menjadi takut-takut menangkap bola Aksa, tendangan Aksa tidak main-main, bisa menyakiti orang lain seandainya tidak ditangkap dengan benar, sehingga keeper selalu membiarkan tendangan Aksa lolos begitu saja kedalam gawang.
"Mainnya yang becus, dong! Arghh! Sampah lo semua!" Pekik Aksa. Ia mengusap wajahnya kasar lantas menatap nyalang satu persatu anggota tim footsal.
"Lo yang gak becus, anjing! Main kasar mulu dari tadi!" Malik mendorong bahu Aksa dengan kasar karena terpancing emosi.
Adam yang kesal melihat Malik mendorong Aksa segera masuk ditengah keduanya. Menahan tangan Malik yang tampak hendak menonjok Aksa.
"Eh, anjing, selow," sinis Adam sambil menahan tangan Malik, "Aksa gak nyentuh lo sama sekali, lo nyentuh dia urusan lo sama gue, " tatapan Adam nyalang kearah Malik, sedang yang ditatap balas menatap lebih nyalang pada Adam. Untuk kemudian, giliran Reza yang berusaha melerai keduanya sebelum masalah makin panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILHOUETTE ✅
Teen FictionBook I of AKSARA DIKARA ______ Dika, jangan bersedih. Takdir memang terlalu kejam membuatmu harus terkurung dalam cangkang patah asa. Membuat semua mimpimu berakhir pupus tak bersisa. Tapi, Dika. Aku ingin kamu tahu, ada aku yang bisa kamu benci se...