16| Kita dan hujan

81 41 67
                                    

Kamu dan hujan. Dua hal yang berbeda, tapi sama-sama aku sukai.

***

Siang ini langit sedang tidak bersahabat. Baru saja ingin pulang, hujan sudah turun disertai guntur. Membuatku masih terjebak dimasjid kompleks perumahanku. Tidak ada payung untuk bisa kugunakan pulang.

Sejak beberapa bulan lalu, aku memang mulai aktif disini.  Seperti sekarang aku kebagian piket untuk membersihkan masjid bersama remaja-remaja lain.

Aku duduk di anak tangga teratas teras masjid sembari menunggu hujan reda. Setidaknya, gamis yang kupakai ini tidak basah karena hujan. Kalau aku memaksakan untuk menerobos, kemungkinan terbesar adalah malam ini aku akan demam. Apalagi aku pulang dengan berjalan kaki.

Tanganku sibuk mengutak-atik handphone. Mencoba menghubungi orang rumah, meminta agar mereka datang menjemput. Sayangnya, mereka malah menghilang saat dibutuhkan.

Aku masih fokus menatap layar hp sampai sebuah suara dehaman disebelah membuatku menoleh. Aku kaget bukan main saat melihat pemilik suara itu. Sejak kapan dia duduk disampingku?

"Nunggu hujan reda?" mungkin kalau orangnya bukan dia, aku sudah menjawab dengan ketus.

Tapi tidak mungkin 'kan aku membuat pandangan dia tentangku jadi buruk, atau aku akan menyesal.

Mungkin karena tak kunjung mendapatkan jawaban, tangannya ia kibaskan didepan wajahku. "Hey?" tegurnya.

Aku mengerjap, "Eh i-iya kak, aku lagi nunggu hujan reda."

Ia mengangguk, kembali menatap lurus kedepan. Aku berdeham, mencoba mencari topik pembicaraan agar tidak secanggung ini. "Kak Abyan kenapa ada disini?" pertanyaanku, tidak terdengar bodoh, 'kan?

"Sholat," jawabnya singkat.

"Bukan. Maksudnya tuh, aku nggak pernah lihat kakak sholat disini. Apalagi ini masjid kompleks. Sedangkan rumah kakak, jauh dari sini."

Kak Abyan mentapku. "Saya lagi nginap dirumah tante. Rumahnya ada di paling ujung kompleks sini." bisa-bisanya aku melupakan itu. Yumna kan juga sering menginap dirumah tantenya.

"Oh gitu." sudah, otakku sudah buntu untuk sekedar mencari topik pembicaraan.

"Nggak bawa payung?" aku menoleh sebelum akhirnya menggeleng, "Aku disini dari pagi. Nggak tau kalau siang ini bakal turun hujan."

Kak Abyan tiba-tiba berdiri, ia menatapku dari atas. "Ayo, saya antar pulang."

Aku mengedarkan pandangan. Dia mau mengantarku pakai apa?

Seolah tau isi pikiranku, ia kemudian berucap, "Saya kesini bawa payung untuk jaga-jaga karena tadi sebelum masuk dzuhur langit sudah mulai mendung. Daripada nunggu lama, lebih baik saya antar kamu. Jalan kaki, nggak apa-apa, 'kan?"

Aku berdiri mengikutinya, "Tapi rumah kita berlawanan arah. Lebih baik nggak usah, kak. Kakak pulang aja, nanti aku suruh bang Agam buat jemput," tolakku dengan hati-hati.

"Nggak apa-apa. Saya antar kamu pulang dulu. Rumah kamu nggak sejauh dari sini ke Bandung, 'kan?"

"Ya ... Iya sih." aku masih mencoba mencari alasan untuk menolak. Tapi kak Abyan seolah tak membiarkan itu, dia segera beranjak mengambil sebuah payung abu-abu yang tersandar di dinding. Tak lama, kembali mendekat ke arahku sambil membuka payungnya. "Ayo, nggak usah nolak. Buang-buang waktu."

Stalker HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang