Halow. Btw mau ngasih tau, judul bab ini rada nggak nyambung. Aneh. Tapi aku suka.
Btw kalian masih inget Anan, nggak? Anan Rayyanka si ganteng nan sholeh hahaha. Dia bakal muncul lagi nanti.
Yaudah, mau bilang itu aja.
Selamat membaca.
***
"Aku nggak suka, ya. Kamu tuh, kelihatan pasrah banget pas di peluk Nada." Tanganku masih sibuk memutar kunci rumah. Setelah terbuka, aku masuk disusul dengan kak Abyan yang menutup pintu.
"Jangan berpikir macam-macam. Tadi Nada tiba-tiba nangis. Aku kaget, nggak tega juga. Mungkin dia lagi punya masalah."
Aku menghela napas. Membuka flat shoes dan menaruhnya di rak sepatu. Langkahku terayun menuju dapur, kami baru saja sampai rumah jam sebelas malam.
Sadar kalau kak Abyan masih mengikutiku, aku kembali bersuara, "Gimana aku nggak mikir macam-macam. Kita nikah belum sampai seminggu. Bahkan aku belum kenal semua keluarga besar kamu. Kamu yang datang tiba-tiba, ngelamar aku." Jeda sebentar, belum ada sahutan dari kak Abyan.
"Aku ... Aku masih belum bisa yakin sepenuhnya. Masih belum percaya pernikahan ini benar-benar terjadi," lanjutku. Aku berjalan menuju pantry. Mengambil gelas dari kabinet dan mengisinya dengan air. Berdebat dengan kak Abyan membuat tenggorokanku terasa kering. Aku terlalu gugup.
Suara langkah kak Abyan terdengar mendekat. "Kamu nggak perlu percaya sama aku. Cukup kamu percaya Allah, dan percaya sama pilihan kamu." Kak Abyan memegang bahuku dari belakang, membalikan tubuhku perlahan. Aku sedikit mendongak agar bisa menatapnya langsung.
Senyumku tertarik. "Aku percaya kamu." Setelahnya, kak Abyan memelukku.
***
"Sore ini kita ke pantai. Ikut, ya? Sekalian gue mau ceritain yang kemarin."
"Yumna sama bang Agam juga pergi?" Kedua tanganku yang sibuk mengupas bawang membuat handphone kuselipkan di antara bahu dan telinga.
Pagi-pagi sekali Nara sudah sibuk menelpon kami. Mengajak jalan-jalan ke pantai, hari ini memang weekand.
"Iya, mereka pergi. Lo harus ikut! Ajak kak Abyan juga, ya."
"Oh oke, gue tanya dulu sama kak Abyan. Udah dulu, gue ribet nih lagi ngupas bawang."
"Pasti di izinin. Iya deh, yang udah jadi ibu-ibu mah beda. Bye. Awas aja kalau nggak jadi. Ketinggalan berita jangan salahin gue."
"Iya, bawel banget." Setelahnya, aku memutuskan sambungan telepon.
Tak lama, suara decitan kursi terdengar. Aku mendongak, sudah ada kak Abyan di depanku, duduk manis di kursi meja bar. "Masak apa?" Matanya kembali tertutup, menongka dagu dengan kedua tangan. Imut sekali astaga.
"Masak nasi goreng." Ia hanya mengangguk.
"Kak," panggilku, yang hanya dibalas dengan gumaman. "Tadi Nara telepon --"
"Ngajak ke pantai?" sambungnya cepat.
"Eh?" Aku mengangkat alis, sedikit terkejut. "kamu udah tau?"
Matanya kembali terbuka. Menatapku dengan senyuman. "Tadi subuh habis pulang dari masjid, Nara telepon aku. Ngajak ke pantai. Aku tanya, kenapa nggak telpon langsung ke kamu? Terus katanya, biar kamu nggak punya alasan nolak. Jadi dia nelpon duluan ke aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker Hijrah
Fiksi RemajaDisini kalian akan kuceritakan tentang diriku, si pengagum rahasia yang tidak hanya mengagumi satu orang, tapi bisa lebih dari itu. Hanya sebatas mengagumi. Karena pada akhirnya, ia terjebak pada satu pria. Pria itu, yang akan jadi tokoh utama dal...