All The Ghosts We've Left Behind

1.3K 183 23
                                    

non-baku | drama, angst | 6,4k words

prompt:
Tentang perjuangan Joohyun untuk move on dari bayang-bayang yang ditinggalkan Seulgi.

+++

Satu minggu sejak kali pertama Joohyun bekerja. Hampir 2 bulan Joohyun kesulitan mencari pekerjaan, akhirnya ia berhasil menemukannya. Meskipun tidak sesuai ekspektasi, itu lebih baik daripada Joohyun harus menjadi gelandangan.

Tidak bisa dipercaya sekarang adalah masanya ia mencari upah untuk menghidupi dirinya. Padahal kelulusan di universitasnya baru diadakan Februari lalu.

Joohyun bersyukur itu semua sudah berlalu. Sebab, apa gunanya Joohyun mengingat masa-masa itu?

Masa-masa sebelum kelulusan. Tepatnya waktu Seulgi meninggalkannya. Tanpa mengucapkan apapun. Tanpa memberikan apapun. Pergi begitu saja. Joohyun dibuat bingung karena sikapnya.

Dimasa akhir kuliahnya, yang harusnya Joohyun merasa lega, merasa bebas, dan merasa hidup. Harus terpaksa jatuh entah dari ketinggian berapa, itu semua karena pacarnya memberikan silent treatment.

Dan, Joohyun dipaksa melanjutkan hidup ketika separuh darinya memilih pergi tanpa alasan. Terdapat banyak ruang kosong yang tak bisa diisi siapapun kalau itu bukan Seulgi.

Joohyun pikir dia berhasil move on. Selama 2 bulan ini, disela-sela mencari pekerjaan, sibuk memberi banyak lamaran, Joohyun masih belum bisa melepaskan Seulgi.

Sulit untuknya bisa melepaskan seseorang yang sudah bersamanya hampir 1 tahun. Seseorang yang bersamanya dimasa-masa sulitnya, mengerjakan banyak tugas kuliah yang menggunung. Kalau bukan support dan semangat dari Seulgi, Joohyun tidak yakin bisa lulus tahun ini.

Tidak berarti hubungan mereka semulus itu. Terkadang mereka tidak pernah sejalur, mereka pernah bertengkar, tapi pada akhirnya mereka mau saling mendengarkan dan memaafkan.

Hanya saja, kali ini Joohyun tidak berhasil membuat keadaan membaik. Seulgi memilih pergi lebih dulu.

Joohyun mengambil segelas air, diteguk cepat demi menyegarkan tenggorokannya yang kering. Berharap itu juga bisa menyegarkan hatinya yang sudah usang berbulan-bulan.

Kakinya melangkah ke meja ruang tamu, mengangkat telepon masuk. Dinyalakan mode speaker, lalu suara familiar terdengar memenuhi rumah sunyi ini.

"Joohyun? Kamu udah di rumah?"

"Baru aja aku sampai. Kenapa?"

"Oh... aku cuma mau bertanya, kamu gak kehujanan, kan? Di luar tadi cukup deras, sih."

Joohyun berdecih, "Kamu meneleponku karena itu?"

"Gak, sebenarnya aku menelepon karena aku ingin mengajakmu makan malam."

Joohyun sibuk mencari remot TV, khawatir ia akan melewatkan acara yang sedang tayang. Entah kapan terakhir ia menaruhnya. Lagi pula bukan hobi Joohyun untuk menonton acara TV, menurutnya itu membosankan.

"Makan malam? Sekarang?"

"Bukan, bukan. Maksudku, besok... atau, ya..."

"Hey, Minho, kalau kamu mengajak pacarmu makan malam seperti ini, kamu tau ajakanmu jadi gak menarik, kan?"

"Jadi, maksudmu kamu adalah pacarku, hm?"

"Jangan mimpi—Oh, di sini!" seru Joohyun ketika menemukan remot TV yang tenggelam dibawah bantal sofa. "Kamu bilang apa tadi? Makan malam besok?"

"... ya. Makan malam."

"Kamu mengajakku untuk makan malam atau sebenarnya kamu mengajakku untuk pergi? Mentang-mentang besok hari libur."

Wonderwall ─ SeulreneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang