Tanpa berpikir panjang, kulempar barang belanjaan, lalu berlari menghampirinya. Ia menangis sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Ada apa, Sayang?" tanyaku panik sekaligus bingung.
"Khalid, ada apa?" tanyaku lagi dengan suara agak meninggi, sambil kusentuh pundaknya.
"Abah, ada Om yang tadi," balasnya terisak.
"Di mana?" Aku berusaha mencari keberadaan orang yang Khalid maksud. Nihil, tidak ada siapapun di sekitar mobil.
"Itu!" Khalid menunjuk kaca depan mobil. Kuperhatikan baik-baik, tidak ada apa-apa.
"Gak ada, Sayang."
Khalid merenggangkan jemari yang menutupi wajahnya, kemudian mengintip.
"Argh! Masih ada." Jeritannya kencang, membuat beberapa pasang mata tertuju padaku, dengan tatapan curiga. Senyuman cangung hanya bisa terpasang di bibirku, sambil menoleh ke arah mereka.
Sedikit demi sedikit, emosiku mulai naik. Apalagi daritadi Khalid belum juga berhenti menangis.
"Udah jangan nangis terus!" Bibirku gemetar, menahan amarah agar tidak meluap. Khalid tidak memperdulikan ucapanku, ia masih saja menangis.
"Ya udah kita pulang sekarang!" ucapku sambil membanting pintu. Dari kaca, kulihat ia tersentak kaget.
Aku berjalan ke bagian belakang mobil untuk merapihkan barang belanjaan dan menutup bagasi. Setelah itu, kembali ke kursi pengemudi.
Khalid sepertinya tau kalau aku sedang marah. Buktinya ia sudah jauh lebih tenang. Hanya saja, kedua tangannya masih terus menempel di wajahnya.
Aku pun menyalakan mobil. Sebelum mobil melaju ke luar mall, kupasangkan sabuk pengaman untuknya.
"Sayang, buka tangannya. Sekarang udah di luar," ucapku sambil menunggu antrian bayar parkir.
Khalid melepaskan kedua tangannya, hanya saja matanya masih terpejam.
"Buka matanya, Sayang! Gak usah takut." Khalid membuka matanya, beberapa detik kemudian kembali menjerit dan menutup wajahnya. Jeritannya itu terdengar sampai ke luar mobil.
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil bersahutan. Dari kaca spion, terlihat beberapa orang berjalan mendekat. Tak lama, pintu di sampingku mulai di gedor-gedor dengan cepat. Dug! Dug!
"Keluar!"
"Woi ... keluar!"
Mereka mulai berteriak, memintaku membuka pintu. Dengan gegas kubuka kaca jendela.
"Ada apa, Ya?" tanyaku, bingung.
"Keluar!" teriak Seorang wanita berbaju biru, diikuti dengan beberapa orang lain yang mulai menarik lengan bajuku.
"Sabar! Sabar! Ada apa ini?" Seorang satpam datang, setelah melihat ada keributan.
"Tangkap Pak! Dia mau culik anak itu!" ucap Wanita tadi, sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Khalid.
"Astagfirullah, ini anak saya, Mbak!" balasku, agak emosi. Kutatap Khalid. Kenapa dalam situasi seperti ini ia malah menangis, tidak bisa diajak kerjasama.
"Bohong! Tadi saya denger anak itu teriak-teriak. Benerkan?" Wanita itu terus memprovokasi, diikuti anggukan orang-orang yang mulai berkerumun di samping mobil.
"Ya Allah, Mbak! Ngapain saya culik anak sendiri," ucapku dengan suara mulai meninggi.
"Astaghfirullah, sabar," gumamku pelan, berusaha menahan amarah yang nyaris meledak."Bapak mending turun dulu." Satpam itu memintaku untuk turun.
Aku pun turun dari mobil. Tidak lupa mengambil tas kecil yang berisi ponsel dan dompet. Sementara wanita itu masih terus nyerocos tak karuan. Level kesabaranku sudah berada di titik terendah. Bisa-bisa hanya dengan satu sentuhan saja, mulutnya sudah kusumpal dengan tas yang ada di genggaman.
"Mana buktinya kalau itu anak kamu?" tanya Seorang pria berbadan tambun.
Kubuka tas, lalu mengambil dompet dan ponsel. Memperlihatkan pada mereka, fotoku dan Khalid yang terpajang di dompet. Setelah itu, kutunjukan beberapa foto kebersamaan dengan Khalid di ponsel.
"Maaf ya, Pak. Sudah ganggu waktunya." Satpam itu meminta maaf dengan sopan. Sedangkan wanita tadi serta beberapa orang lainnya, hanya melengos, pergi tanpa mengucapkan kata maaf padaku.
Aku langsung masuk ke dalam mobil, duduk, sedikit termenung, memikirkan kejadian tadi. "Ya Allah, gara-gara Khalid, aku hampir dikira penculik," pikirku sambil menatap wajahnya yang masih bersembunyi di balik tangan kecilnya itu.
Kumajukan mobil, mendekat ke loket. "Berapa, Mbak?" tanyaku saat akan membayar parkir.
"Tiketnya mana, Pak?" balas Wanita penjaga loket.
"Astaghfirullah, maaf Mbak." Pikiran yang sedang kacau membuatku lupa dengan tiket parkir. Kucari ke mana-mana. "Aduh, tadi simpen di mana, Ya?" gerutuku seraya mencari di atas dasboard. Tidak ada!
Kubuka tas, ternyata tiketnya ada di sana. Dengan gegas kuserahkan pada penjaga loket.
"5000, Pak." Kuambil selembar uang 5000 rupiah, lalu melajukan mobil menuju rumah.
Kutatap Khalid. Seketika itu terlintas banyak pertanyaan yang muncul di benakku.Apakah ibu tau kalau Khalid bisa melihat makhluk tak kasat mata? Jika iya, kenapa ibu tidak pernah menceritakan hal ini padaku?
Daritadi Khalid selalu bilang Om. Siapa sebenarnya Om itu? Kenapa ia terus mengikuti anakku?
Argh! Sungguh aku bingung dengan semua ini.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Kembang Desa
Horror"SIAPAPUN YANG MASUK KE RUMAH INI, MAKA NASIBNYA AKAN SAMA DENGANKU!" Sepucuk surat yang ditulis oleh Rahmi - seorang kembang desa, sebelum mengakhiri hidupnya.