Dokter masuk ke dalam kamar. "Eh ketemu lagi, sekarang gantian, Mas yang berbaring di brankar," ucap Dokter yang dulu menangani Khalid.
Aku berusaha tersenyum mendengar candaannya. "Dok, apa saya boleh pulang?" tanyaku.
"Pulang gimana? Mas aja baru sadar setelah seminggu koma."
"Maaf, Dok. Anak saya emang begitu. Kayanya efek kepalanya kebentur," ledek Ibu. "Lagian ngapain buru-buru pulang."
"Aku cuman pengen ketemu Khalid, Bu."
"Nanti ibu minta Mbak Tuti bawa Khalid ke sini. Pokok kamu harus sehat dulu, baru boleh pulang."
Dokter memeriksa tubuhku. Mengecek apakah semuanya baik-baik saja. "Mas beruntung banget, kalau tidak cepat-cepat dibawa ke rumah sakit, mungkin bisa fatal akibatnya," ucapnya.
"Iya, untung ibu bangun tengah malem. Terus ngeliat kamu udah tergeletak di lantai kamar dan ngeluarin banyak darah," sahut Ibu. "Gimana ceritanya lampu kamar kamu bisa pecah begitu?"
"Gak tau, Bu. Tiba-tiba aja pecah," balasku.
"Kenapa gak manggil ibu."
"Aku udah manggil, tapi ibu gak bangun-bangun."
"Ibu gak denger kamu manggil."
"Mungkin tidurnya udah terlalu nyenyak, Bu."
Dokter memegang lututku. "Sakit?" tanyanya.
"Enggak, Dok."
Kemudian ia menekuk kakiku perlahan. "Sakit?"
"Enggak."
"Coba gerakin tangannya." Aku pun menggerak-gerakan tangan dan jari. "Sekarang nengok ke kanan dan kiri."
"Masih ada yang sakit di belakang leher, Dok."
"Coba menghadap ke kanan."
"Eu!" Sakit di punggung langsung terasa. "Sakit, Dok."
"Mungkin butuh beberapa hari atau seminggu, sampai bagian punggungnya benar-benar bisa sembuh total."
"Tuh, Denger! Jangan pengen pulang mulu, kaya anak kecil," omel Ibu.
"Iya, Bu."
"Sementara istirahat total dulu di sini, Mas," ucap Dokter.
"Jangan lama-lama, Dok. Takut saya gak bisa bayar nanti," balasku.
"Ibu udah urus asuransinya, Dar," sahut Ibu.
"Oh, aman berarti."
Dokter pun tersenyum, kemudian pamit ke luar kamar.
"Bu, telepon Mbak Tuti lagi dong," pintaku.
"Tadi kan udah," sahutnya seraya duduk di sofa.
"Aku pengen denger suara Khalid. Ayo dong, Bu."
"Ya Allah, kamu tuh daritadi kenapa sih? Kayanya ada sesuatu yang disembunyiin."
Aku menceritakan semua. Mulai dari mimpi tentang pohon berdaun merah hingga kejadian di rumah Rahmi.
"Jadi dia datang ke rumah?" Ibu tampak terkejut mendengar ceritaku.
"Iya, Bu."
"Bahaya kalau begitu." Dengan gegas ibu menelepon Mbak Tuti. Kemudian memintanya untuk membawa Khalid ke sini. Kini rumah sudah bukan tempat yang aman lagi.
Kring!
Telepon ibu berbunyi. "Mbak Tuti," ucap Ibu seraya mengangkat teleponnya. "Kenapa, Mbak?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Kembang Desa
Kinh dị"SIAPAPUN YANG MASUK KE RUMAH INI, MAKA NASIBNYA AKAN SAMA DENGANKU!" Sepucuk surat yang ditulis oleh Rahmi - seorang kembang desa, sebelum mengakhiri hidupnya.