Kini, mobil sudah tenggelam dalam lautan darah. Suara Khalid pun sudah tak terdengar. Kubersimpuh, memohon bantuan pada Dzat yang maha besar.
"Ya Allah, tolong anakku," ucapku lirih. Air mata pun mengalir, tak bisa terbendung lagi.
Dalam keadaan pasrah, kuedarkan pandangan, melihat situasi sekitar. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Terakhir hanya seorang pengendara motor yang tadi menegurku.
Rumah warga pun menghilang dalam gelap. Hanya terlihat deretan pohon besar yang tersorot lampu depan mobil.
__________
"Nak, bangun!" Terdengar suara seseorang di belakangku. Spontanku menoleh, seorang pria paruh baya sudah berdiri di dekatku. Ia mengulurkan tangannya, membantuku berdiri.
Aku tertegun. Bagaimana bisa dalam keadaan gelap begini, wajahnya seperti memancarkan cahaya. Cahaya yang sama sekali tak menyilaukan. Bahkan pancarannya menghangatkan tubuhku yang daritadi terasa dingin.
"Kenapa kamu di sini, Nak?" tanya Kakek itu sambil memegangi tubuhku yang masih kesulitan berdiri.
"Anak saya, Kek. Ada di dalam mobil," balasku sambil mengarahkan jari telunjuk ke mobil yang sudah berwarna merah darah.
Kakek itu menatap mobil. Tatapannya sangat tajam. Seketika itu pula, raut wajah berubah seperti marah.
"Hey Wanita Iblis! Ke luar dari sana!" Kakek itu berteriak dengan tangan mengepal, menahan amarah.
"Hahahahahaha ...." Wanita itu tertawa kencang sekali. Kaget, aku langsung mundur satu langkah, berlindung di balik Kakek itu. "Mau apa kau, Kakek Tua?"
"Lepaskan anak itu atau ...."
"Atau apa? Kakek tua sepertimu, bisa apa?"
Kakek itu mengeluarkan sesuatu di balik pakaiannya. Sebuah cambuk berwarna putih dan bercahaya. Cambuk itu diayunkan ke arah mobil.
Tak lama, terdengar suara jeritan dari dalam mobil. Namun, Wanita itu bersikukuh, tidak mau ke luar dari mobil.
Sang Kakek mengayunkan cambuk untuk kedua kalinya. Kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya. Sampai-sampai, suaranya terdengar mengelegar, serta hembusan anginnya bisa kurasakan. Cambuk itu tepat mengenai kaca jendela.
Prang!
Dalam sekejap, kaca jendela mobil sudah hancur berkeping-keping. Darah yang menutupi mobil pun menghilang. Kini, aku bisa melihat wajah Wanita itu dengan jelas. Ia masih mendekap Khalid.
"Khalid! Khalid! Bangun, Sayang!" teriakku ketika melihat tubuhnya tak bergerak. Rasanya ingin sekali mendekatinya, tapi Kakek itu menahanku.
"Pergi atau pecutan terakhir ini akan mendarat di tubuhmu," ancam Kakek itu.
Wanita itu menyeringai ke arahku, lalu menjulurkan lidahnya yang panjang. Ia menjilat-jilat wajah Khalid. "Akan kubawa anak ini," ucapnya terus menjilati wajah anakku.
Bagiku itu sungguh pemandangan yang menyakitkan sekaligus menyeramkan. Aku kecewa terhadap diriku sendiri. Sebagai seorang ayah, tidak bisa berbuat apa-apa untuk anakku.
Kakek itu membungkuk badan, ia mengulurkan tangannya ke tanah. Di saat itu, aku baru tersadar, sejak kapan aspal jalan berubah menjadi tanah. Kuperhatikan lagi tangannya, terlihat tidak biasa, agak panjang.
Kutepis segala prasangka negatif pada Kakek itu. Dalam pikiran ini hanya satu, yang penting Khalid selamat. Siapa pun ia selama bisa membantu menyelamatkan anakku, aku benar-benar berterimakasih.
Telapak tangannya yang besar itu, kini sudah menggenggam tanah. Ia memejamkan matanya, lalu bergumam pelan sekali. Seperti sedang membaca sesuatu dengan cepat.
Hembusan angin yang kuat terdengar dari mulutnya. Meniup tanah yang ada di gengamannya. Matanya terbuka lebar, melotot ke arah Wanita itu. Dengan ayunan yang sangat cepat, ia melemparkan tanah itu ke mobil, hingga mengenai Wanita itu.
"Panas! Panas! Panas!" Wanita itu menjerit kesakitan. Kukunya yang panjang itu terus mengaruk-garuk tubuhnya. Darah segar mengalir dari keningnya. Rembesan darah membuat pakaiannya menjadi semakin merah. Bahkan tetesan darahnya mengenai tubuh anakku.
Bau anyir menyeruak, menusuk hidungku. Perutku mual, terlebih ketika melihat tubuh anakku sudah diselimuti darah. Aku sudah tak sanggup lagi menahannya. Hingga akhirnya, muntah.
"Pergi!" ucap Kakek itu.
Dengan mata yang sedikit berkunang-kunang. Kulihat Wanita itu terbang, ke luar dari mobil.
"Aku akan kembali, untuk mengambil anak ini," ucapnya sebelum menghilang.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Kembang Desa
Terror"SIAPAPUN YANG MASUK KE RUMAH INI, MAKA NASIBNYA AKAN SAMA DENGANKU!" Sepucuk surat yang ditulis oleh Rahmi - seorang kembang desa, sebelum mengakhiri hidupnya.