"Dar, kamu yakin mau nyari pengasuh buat Khalid?" tanya Ibu yang masih kurang setuju dengan ideku.
"Khaidar yakin, Bu," balasku.
"Ibu telepon Mbak Tuti, Ya?" Mbak Tuti ini dulunya pengasuhku sewaktu kecil.
"Gak usah, Bu. Biar aku cari sendiri aja. Sekarang banyak agensi penyalur pengasuh anak. Nanti aku cek satu-satu, cari yang paling bagus." Aku berusaha meyakinkan ibu.
"Khalid itu beda loh, Dar. Sama kaya kamu waktu kecil."
Memang, anakku itu agak rewel dan hiperaktif. Apalagi setelah menginjak usia empat tahun.
"Tenang, Bu. Pengasuh dari agensi itu profesional. Ada yang bersertifikat juga. Pasti bisa lah nanganin Khalid."
"Ibu sudah wanti-wanti ya, terserah kalau kamu gak percaya," ucap ibuku, cemberut.
Aku menghampiri ibu, lalu memeluknya. "Bundaku sayang ... jangan cemberut gitu. Pokoknya aku usaha dulu cari yang terbaik," ucapku pelan.
*
Semenjak aku bercerai dengan Sonya. Ibu yang mengurus Khalid—anakku. Ia tidak pernah mengeluh atau merasa keberatan. Namun, semakin lama, aku tak tega harus menyusahkannya setiap hari.
Sudah beberapa kali aku mengusulkan untuk mencari pengasuh. Namun ibu selalu menolaknya. Kali ini, ia akhirnya setuju. Kini tinggal tugasku mencari pengasuh terbaik untuk Khalid.
_________
Dua minggu berselang, semenjak usulku untuk mencari pengasuh. Kini aku tersadar, kalau firasat seorang ibu itu memanglah kuat.
Dalam seminggu ini, sudah tiga orang pengasuh yang mengundurkan diri. Alasannya pun bermacam-macam. Ada yang orang tuanya tiba-tiba sakit. Ada yang kurang betah dan lain-lain. Bahkan ada yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Aku sempat komplain kepada pihak agensi, atas ulah para pengasuhnya itu. Pihak agensi berjanji akan mencari yang terbaik dan benar-benar siap. Sementara itu, terpaksa aku harus mengambil cuti beberapa hari untuk menemani Khalid di rumah.
Sampai sekarang ibu belum tau tentang masalah ini. Sengaja aku tak meberitahunya, takut ia marah dan menceramahiku siang malam.
Selagi mengambil cuti, aku bisa menjalankan rencana untuk mendesain kamar bermain untuk Khalid.
________
Besok siangnya, aku mengajak Khalid pergi ke Mall, untuk membeli beberapa mainan kesukaannya. Kupandangi wajah anakku itu. Ia masih sibuk berpindah-pindah dari rak satu ke rak lainnya.
Selama menemani Khalid di rumah, sikapnya normal seperti anak kebanyakan. Aku masih tak habis pikir, kenapa tak ada seorang pun pengasuh yang betah mengasuhnya. Bahkan ibu pun bilang ia anak yang berbeda.
"Di mana letak perbedaanya?" tanyaku dalam hati. Palingan hanya sedikit nakal dan rewel, tapi masih di batas kewajaran.
Khalid terus bejalan mondar-mandir ke troli belanjaan yang kubawa. Ia terus memasukan mainan ke dalamnya.
"Sayang, mau beli apa lagi?" tanyaku sambil memandangi troli belanjaan yang hampir penuh. Namun, anakku itu hanya diam saja, tak menjawab. Ia malah pergi, menelusuri rak lainnya.
"Tekor dah ini," batinku. "Sayang, pulang, Yuk!" ajakku dengan tatapan mengiba. Khalid tampaknya tidak peduli. Ia malah berlalu dan berpindah ke rak lain.
Kali ini aku bisa sedikit merasakan, apa yang dirasakan ibu dan pengasuh itu. "Ya Allah, gak kebayang gimana ibu bisa tahan selama dua tahun lebih mengurusnya," ucapku dalam hati.
Tiba-tiba Khalid berlari mendekat dengan wajah ketakutan. Kemudian memegang tanganku dan bersembunyi di balik badanku.
"Kenapa, Sayang?" tanyaku, bingung.
"Abah, pulang yuk!" Khalid menarik tanganku, kencang.
"Wah, doaku terkabul," bantinku. "Yuk!" Aku mengajaknya ke kasir. Namun, Khalid malah diam saja, sambil menatap ke sudut ruangan.
"Ada apa, Sayang? Katanya mau pulang."
"Ada Om galak! Marah-marah terus," balasnya. Mendengar ucapannya, seketika aku langsung naik darah. Siapa yang berani memarahi anakku?
"Mana orangnya?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan. Namun, terlihat siapapun di sekitar kami.
"Orangnya udah pergi?" tanyaku lagi.
Khalid sedikit mengintip. "Masih ada," teriaknya lalu kembali bersembunyi.
"Di mana?" tanyaku bingung sambil celingak-celinguk.
"Di belakang abah," sahutnya, berteriak.
Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Hanya terasa hembusan angin dingin menerpa wajah. Seketika itu, bulu kudukku meremang.
"Ah, paling angin dari AC." Aku berusaha menepis pikiran negatif. Kemudian jongkok dan memeluk Khalid. "Buka matanya sayang. Omnya udah pergi," ucapku berusaha menenangkannya.
Khalid membuka mata.
"Gak ada kan?" tanyaku padanya yang daritadi celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.
"Abaaaahhh!" Ia kembali berteriak, lalu memelukku erat dan menangis.
"Kenapa lagi?" Aku kebingunan dengan tingkah anehnya ini.
"Itu! Om-omnya ada di sana." Ia menunjuk ke atas rak di belakangku.
"Hah?" Aku menengadah, melihat ke atas rak, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada deretan mainan yang tertata rapih. Lagian tak mungkin ada orang di atas sana. Apa mungkin yang Khalid lihat bukan orang?
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Kembang Desa
Horror"SIAPAPUN YANG MASUK KE RUMAH INI, MAKA NASIBNYA AKAN SAMA DENGANKU!" Sepucuk surat yang ditulis oleh Rahmi - seorang kembang desa, sebelum mengakhiri hidupnya.