Rumah Rahmi

4.7K 505 4
                                    

Brug!

Rahmi menubruk tubuhku kencang sekali. Rasa sakitnya bahkan membuatku menjerit. "Argh!" teriakku, seraya membuka mata. "Astaghfirullah ... Astaghfirullah." Aku terus beristighfar. Ternyata itu hanya sebuah mimpi.

Duag!

Lampu kamarku meledak. "Bu!" teriakku. Beberapa kali kupanggil tapi ia tak juga datang. Kuulurkan tangan, meraba nakas untuk mengambil ponsel. Nihil, ponselku tak ada di sana.

Aku beranjak dari tempat tidur, duduk di pinggirnya. "Bismillah." Kucoba untuk berdiri, walaupun lutut ini masih terasa sakit. Kemudian berjalan perlahan ke arah pintu.

"Aw!" teriakku saat merasakan sakit di telepak kaki. Sepertinya aku menginjak pecahan lampu. "Bu!" Kupanggil ibu, tapi masih tak ada jawaban.

Aku lanjut berjalan, tak memperdulikan rasa perih di telapak kaki, serta lutut yang semakin terasa sakit. Tepat di depan pintu, kuulurkan tangan, meraih gagang pintu. Krek! Pintu tak terbuka.

"Bu!" Aku menggedor-gedor pintu. Berharap ibu mendengarnya. "Bu!" Tiba-tiba tercium bau anyir bercampur busuk.

"Mau ke mana, Khaidar?" ucap Suara lirih di belakangku. Seketika itu, tubuh ini terasa kaku. Mulut pun tak bisa dibuka, diikuti rasa kebas di bagian leher dan wajah. "Ikut ... atau saya ambil anak itu?" bisiknya.

Kurapal doa dalam hati. Namun, baru beberapa ayat, kurasakan cengkraman yang kuat di leher. Hingga membuatku kesulitan bernafas. Kulanjutkan rapalan doa, walau nafas ini mulai sesak.

Tiba-tiba kaki ini seperti tak menapak ke lantai, melayang. Hanya dalam hitungan detik, tubuhku sudah terhempaa ke lantai. Brug! Aku bisa merasakan rasa sakit yang luar biasa di daerah punggung dan kepala. Tak lama semuanya menjadi gelap.

_________

Aku terbangun di sebuah kamar dengan lantai kayu. Kondisinya begitu kotor, tak terawat. Dinding yang sudah menghitam, ditambah beberapa perabotan kayu yang sudah lapuk. Sarang laba-laba di langit-langit, menambah suasana kamar menjadi menyeramkan. Kamar siapa ini?

Aku bangkit dan berdiri, kemudian berjalan ke arah pintu. Kriet! Kubuka pintu. Di depanku sudah ada Rahmi yang sedang duduk di kursi. "Kamu sudah bangun?" tanyanya.

Walau wajahnya sedang tidak terlihat menyeramkan, aku tetap menjaga jarak darinya. "Aku ada di mana?" tanyaku.

"Di rumah saya."

Di rumah Rahmi? Bagaimana mungkin? Terakhir kali aku ingat sedang tidur di kamar. Jangan-jangan ... aku sudah meninggal? "Apa aku sudah meninggal?" tanyaku pada Rahmi yang sedari tadi duduk dengan santainya.

"Bisa dibilang begitu."

"Apa kamu yang membunuhku?"

"Bisa dibilang begitu."

Seketika itu, aku terduduk di lantai. Tangisku pecah, memikirkan Khalid dan Ibu. "Tidak perlu memikirkan anak itu," ucap Rahmi.

Kutatap wajahnya dengan sorot mata marah. "Kamu pasti akan mencelakai Khalid!"

"Sudah tidak perlu. Kamu sudah ada di sini, sebagai penggantinya."

"Kenapa kamu terus meneror keluargaku."

"Seharusnya kamu sudah tau itu."

Kutukan Kembang DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang