Bangsal Kosong

5K 553 1
                                    

#11

Sudah nyaris satu jam aku berkeliling rumah sakit, menanyakan hampir ke seluruh pegawai di sana. Namun, jawabannya masih sama. Tidak ada yang melihat Khalid. Lantas, bagaimana mungkin anak kecil yang kemarin tmasih tergolek lemas, bisa pergi jauh.

Di tengah kepanikan yang melanda. Ibu datang ke rumah sakit. "Ngapain di sini, Dar?" tanyanya, saat melihatku berdiri di dekat pintu depan rumah sakit. Aku tak menjawab pertanyaannya.

"Khalid gak kenapa-napa, Kan?" tanyanya lagi. Dari raut wajahku, sepertinya ibu sudah tau kalau ada yang tak beres. "Dar, Jawab!" imbuhnya dengan suara meninggi.

Aku duduk di kursi, seraya menghela nafas. "Khalid ilang, Bu," balasku.

"Ilang? Ilang gimana maksud kamu?"

"Khalid gak ada di kamar, Bu."

"Gimana sih, ibu masih gak ngerti. Bukannya kamu ada di kamar juga? Kok bisa gak tau Khalid pergi?"

"Khaidar tidur, Bu. Pas bangun Khalid udah gak ada."

"Ke mana?"

"Khaidar juga gak tau, Bu. Daritadi nyari keliling rumah sakit, gak ada yang liat."

"Masa dari sekian banyak orang di sini, gak ada yang liat sih! Kan anak kecil gak mungkin pergi jauh."

"Apa mungkin dia dibawa Rahmi?"

"Jangan ngomong sembarang, Dar! Berdoa aja ini bukan ulah dia."

"Aku baru inget, sebelum tidur. Khalid sempet bilang, kalau ada temennya yang datang."

"Siapa?"

"Khaidar juga gak tau, Bu."

Terlihat seorang perawat berlari ke arahku. "Mas, ketemu," ucapnya dengan nafas tersengal.

"Alhamdulillah," balasku bangkis. "Ada di mana, Sus?" imbuhku.

"Ada di ... mending Mas liat sendiri."

Perawat itu berjalan ke suatu tempat, sementara aku dan ibu mengikutinya dari belakang.

"Saya bingung kok anaknya bisa ada di sana," ucap Perawat itu seraya berjalan cepat.

"Emangnya anak saya ada di mana, Sus?" tanyaku.

"Di bangsal kosong."

"Bangsal kosong?"

"Kamar yang udah gak dipake lagi, Mas."

Perasaan, aku tidak tidur terlalu lama. Bagaimana Khalid berjalan sejauh ini dan masuk ke bangsal kosong?

Kami pun melewati lorong panjang. Di ujung lorong terlihat beberapa pegawai rumah sakit yang sedang berkumpul.

"Masih belum datang?" tanya Perawat itu pada temannya yang berdiri di depan pintu bangsal.

"Cucu saya gak kenapa-napa, Kan?" tanya Ibu.

"Ada di dalem, Bu," sahut salah satu pegawai rumah sakit.

Aku mengintip dari jendela yang sudah berdebu parah. Kulihat Khalid terbaring di atas brankar. Perban di tubuhnya pun menghilang. Apakah ia sedang tidur?

"Khalid!" panggilku, berteriak. Berharap ia mendengar dan bangun. Namun, tubuhnya sama sekali tak bergerak.

"Tinggal dibuka aja. Apa susahnya?" Ibu terdengar emosi.

"Pintunya digembok."

Terlihat ada rantai yang melingkar, di ujungnya ada sebuah gembok besar. "Dobrak aja, Dar!" perintah Ibu.

"Jangan, Mas. Tunggu Pak Adi, dia yang punya kunci gemboknya."

"Kalau cucu saya telat ditolong gimana?" sahut Ibu. "Dobrak aja, Dar! Pintu bisa diganti, tapi nyawa enggak!"

Kuambil jarak agak jauh, lalu mulai mendobrak pintu itu. Para pegawai rumah sakit pun tak sanggup melarangku lagi. Benar kata ibu, ini masalah nyawa. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Khalid, aku akan menyesal seumur hidup.

Brug! Brug!

Dobrakan demi dobrakan aku lakukan. Hingga menimbulkan suara gaduh dan memanci banyak orang berkumpul.

"Ada apa ini?" teriak Seorang berpakain putih seraya mendekat. Sepertinya ia seorang dokter.

"Ada anak yang kekunci di dalem, Dok," balas Perawat.

"Bagaimana bisa? Bukannya bangsal itu udah lama gak dipake?"

"Saya juga gak tau, Dok."

"Mas, lebih baik tunggu pegawai yang pegang kunci saja," ucap Dokter itu padaku.

"Anak saya di dalam, Dok!" teriakku seraya menendang pintu. Namun pintu itu tak juga terbuka.

Rasa sakit kembali kurasakan di kaki. Aku lupa  kondisiku masih belum prima, pasca kecelakaan. Kucoba mendobrak menggunakan bahu, tapi masih belum juga berhasil.

"Udah, Dar!" Ibu memintaku berhenti. Mungkin ia tak tega melihatku yang sudah kepayahan.

Aku berdiri di dekat pintu. Kembali mengintip ke jendela. Khalid masih ada di sana. Bahkan setelah berkali-kali dobrakan yang terdengar kencang. Ia sama sekali tak bergerak.

"Khalid!" teriakku.

Kaki ini terasa semakin sakit. Sepertinya efek adrenalinnya sudah berkurang. Spontanku mendudukan diri di lantai. "Kamu gak kenapa-napa, Dar?" tanya Ibu, khawatir.

"Ini kaki sakit banget, Bu," balasku.

Dokter mendekatiku, memeriksa kondisi kaki. Ia menekan pelan beberapa bagian di kaki. "Di sini, Ya?" tanyanya sembari menekan lututku.

"Iya, Dok," balasku sambil meringis kesakitan.

"Sus, tolong ambil kursi roda," perintah Dokter itu. "Kakinya masih memar, Mas. Seharusnya jangan dipakai berlebihan dulu. Takut semakin parah."

"Mau gimana lagi, Dok. Anak saya ada di dalem."

"Saya sudah bilang sabar, tunggu yang pegang kunci."

"Tapi mana, Dok? Sampe sekarang belum dateng juga."

Tak lama, seorang pria paruh baya berlari ke arah kami. "Nah itu Pak Adi datang," ucap Dokter itu.

"Ayo, Pak. Cepetan buka pintunya!" teriak Ibu, saat Pak Adi mengeluarkan kunci dari kantungnya.

"Kenapa bisa ada di dalem?" Sebuah pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Pak Adi.

Krek!

Gembok terbuka. Rantai pun sudah ditarik.

Kriet!

Pak Adi membuka pintu lebar-lebar. Debu pun berterbangan ke luar. Kucoba bangkit, tapi dokter melarangnya. Dengan gegas ibu masuk ke dalam dan membawa Khalid ke luar.

Dokter memeriksa Khalid yang masih tak sadarkan diri di pangkuan ibu. "Badannya dingin banget, Dok," ucap Ibu, panik.

"Nadinya lemah," timpal Dokter, membuatku ikutan panik. Kemudian bergerak mendekati anakku.

"Khalid!" panggilku. "Bangun, Sayang!" Kuusap keningnya, tak terasa air mata pun mengalir.

BERSAMBUNG

Kutukan Kembang DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang