Masa Kecilku

5.4K 589 5
                                    

#9

Ibu kembali bercerita. "Waktu itu, ayah kamu masih muda, pokoknya lagi nakal-nakalnya.
Kakek udah ngelarang  jangan maen deket-deket sama rumah Rahmi. Sayangnya, ayah kamu dan temen-temennya malah masuk ke sana. Mereka gak tau kalau kenakalannya waktu itu malah menimbulkan malapetaka."

"Malapetaka?" tanyaku.

"Satu persatu teman ayah kamu tewas mengenaskan. Mulai dari penyakit aneh sampai kecelakaan tunggal. Sampai akhirnya sisa ayah kamu aja.

Rahmi mulai datang meneror. Kakek kamu yang merupakan Kyai desa berusaha mengusirnya."

"Apa berhasil, Bu?"

"Enggak, Rahmi ternyata jauh lebih kuat."

"Terus, gimana cara ayah bisa lolos dari maut?"

"Itu semua berkat pengorbanan kakek kamu. Beliau melakukan sholat tahajud selama 40 hari. Memohon agar diselamatkan dari Rahmi. Lambat laun, terornya berkurang. Menjelang hari ke-40, Rahmi tidak lagi meneror. Walaupun ...."

"Walaupun apa?"

"Karena kelelahan, kakek kamu mulai sakit-sakitan dan meninggal dunia."

"Lalu apa hubungannya dengan Khaidar, Bu?" tanyaku.

"Awalnya ayah sama ibu mengira Rahmi sudah menghilang. Dan gak lagi ngejar ayah kamu. Tapi perkiraan kita salah. Dia malah ngincar kamu."

"Aku?"

"Iya. Ibu baru sadar pas kamu berumur satu tahun. Tingkah kamu aneh, selalu menangis kencang setiap malam. Ayah kamu yang curiga kemudian memanggil seorang ustad. Dari dialah, akhirnya terungkap, bahwa Rahmi sudah mengikutimu sejak lahir. Dia ingin menjadikanmu sebagai anaknya."

"Anaknya? Terus ...." Aku terkejut sampai menelan ludah.

"Beberapa kali dia berusaha membawa kamu."

"Maksud ibu menculik Khaidar?"

"Enggak. Dia ingin membawa jiwa kamu. Sehingga kamu pun mulai sakit-sakitan."

"Lalu, bagaimana Khaidar bisa terlepas dari jeratannya?" tanyaku.

"Jangan-jangan ayah juga ngelakuin itu?" sambungku.

Mata ibu mulai berkaca-kaca.

"Itu menjadi hari terberat dalam hidup ibu. Ibu harus menjaga kamu, terus membawa kamu ke mana pun ibu pergi. Sedangkan ayah melakukan cara yang sama dengan kakek.

Sayangnya,  ayah kamu gak sekuat kakek dulu. Waktu malam ke-35, rasa kantuk menyerang begitu dahsyat. Ibu tertidur, begitu pula ayah.

Esok malamnya, Rahmi datang dan mengamuk berusaha melukai ayah kamu. Sampai ayah kamu menyuruh ibu pergi ke rumah nenek."

"Jadi ayah yang ngehadapin Rahmi sendirian? Terus gimana, Bu?" tanyaku.

"Dia baik-baik aja. Dengan bantuan Pak Ustad berhasil mengusir Rahmi pergi. Tapi ...."

"Tapi apa?"

"Sepulangnya dari rumah kita, Pak Ustad meninggal dunia, jatuh dari motornya."

"Inalillahi, apakah itu ulahnya?"

"Dugaan ibu, itu semua ulah Rahmi."

"Ibu bilang ayah meninggal waktu Khaidar umur dua tahun. Apa itu ada hubungan dengan Rahmi?"

"Semenjak malam itu, ayah kamu juga mulai sakit-sakitan. Dia udah berusaha menahan rasa sakitnya selama setahun, tapi akhirnya menyerah juga. Sekarang ibu khawatir sama kamu dan Khalid."

Kutatap wajah Khalid yang masih belum sadarkan diri. Tak terasa butiran air bening jatuh di sudut mataku. "Kalau Rahmi mengincar Khalid. Insya Allah Khaidar siap, Bu. Khaidar juga bakal ngelakuin hal yang sama dengan ayah dan kakek."

"Tadi kamu bilang ketemu dengan Kakek-kakek?"

"Iya, Bu. Kakek itu yang ngusir Rahmi waktu mau bawa Khalid."

"Apa dia ngomong sesuatu?"

"Dia bilang kelak Khaidar bakal tau tentang Rahmi dan harus menjaga Khalid. Dia juga bilang kalau Khalid pasti kuat."

"Semoga saja Rahmi gak balik lagi. Cukup sampe di sini aja. Ibu gak mau kehilangan kamu, Dar."

"Iya, Bu. Khaidar juga gak mau kalah sama dia!"

"Ya udah, sekarang sholat isya dulu. Dah jam segini."

"Iya, Bu."

"Kamu masih sakit gak?"

"Aman, Bu. Palingan sakit sedikit doang," sahutku seraya bangkit.

Aku dan ibu pun mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, kami pergi ke mushola rumah sakit, yang ternyata letaknya tak jauh dari ruang inap.

Setelah sholat Isya, kami kembali ke kamar. Aku sungguh terkejut, ketika membuat pintu. Khalid menyambutku dengan senyuman manisnya.

"Abah ...," ucapnya pelan. Air mata bahagia pun jatuh, bergegasku menghampirinya.

"Abah jangan nangis," bisik Khalid ketika aku memeluk tubuhnya.

"Iya, Sayang." Aku menyeka air mata dengan punggung tangan. Ternyata ibu pun ikut menangis, di sisi brankar lainnya.

"Nenek juga jangan nangis."

"Iya." Ibu tersenyum berusaha menahan air matanya.

"Abah ...."

"Iya, Sayang."

"Aku kasian."

"Kasian kenapa?"

"Itu ...." Khalid menunjuk jendela kamar yang terbuka. Spontan aku dan ibu menoleh ke sana.

"Ada apa?"

"Daritadi ada ibu-ibu berdiri pingin masuk."

"Ibu-ibu?"

"Iya."

Tidak ada siapa-siapa di sana. Aku pun melirik ke arah ibu.

"Sayang, bilang sama ibu-ibunya suruh pergi," ucap Ibu.

"Nenek ... katanya dia gak mau."

Dengan cepat aku menutup gordennya.

BRUK!

Terdengar suara jendela dipukul dengan keras.

"Dia marah, Abah."

BERSAMBUNG

Kutukan Kembang DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang