3. Menuju Perdamaian

872 143 2
                                    

Aura Karina itu lembut dan dingin, seperti ice cream, dan Jeno sangat menyukai ice cream. Yang artinya, dia menyukai Karina. Hanya sebatas suka, belum masuk dalam fase sayang, apalagi cinta. Rasa penasaran akan anak dosen yang pendiam dan sopan membuat Jeno terus berusaha.

Pagi itu Karina terlihat duduk sendirian di perpustakaan. Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Jeno tidak pernah bangun sepagi ini, kecuali dengan maksud dan tujuan tertentu. Kali ini, tujuannya adalah Karina.

Gadis itu sedang memainkan ujung rambutnya sembari mengedit lagu di laptop hitam yang selalu dia bawa kemana-mana. Helaan napas terdengar berulang kali. Sepertinya Karina sedang kesal.

"Duh susah banget sih..."

Puk!

Sebuah CD mendarat di meja, tepat di samping tangan Karina. Pelaku pelemparan itu kemudian muncul di kursi sebelahnya.

"Lo ngapain disini sih?"

"Ini film bagus, Suicide Squad, lo harus nonton. Atau lo bisa baca series Percy Jackson, karya Rick Riordan. Kalau lo mau besok gue bawain."

"Gue nggak suka nonton apalagi baca buku!"

"Ini bagus buat nyegerin otak lo. Biar dapet inspirasi, gue liat lo lagi bikin lagu..."

Karina refleks menutup laptopnya.

"Telat, gue udah berdiri di pojok sana setengah jam," kata Jeno.

"Ya udah terus? Lo kesini cuma mau ngeledek gue?"

"Fitnah mulu lo," kata Jeno. "Gue mau bantuin lo. Itu pun kalau lo nggak ngusir gue."

"Gue usir lo detik ini juga, pergi sana!"

Jeno menghela napas. "Sekadar info, bokap gue kerja di L.A. jadi penulis lagu."

Pernyataan itu membuat Karina terdiam. "Penulis? L.A.?"

Dan mimpinya. Semua itu persis seperti impian Karina.

"Serius? Woah, lo pasti bangga banget punya bokap kayak dia," kata Karina.

"Iya, gue bangga. Tapi ada satu hal yang bikin gue kecewa."

"Apa?"

"Titan," kata Jeno.

"Titan... kakak lo?"

Anak dari selingkuhan bokap gue, batin Jeno.

"Iya, semua bakat bokap larinya ke dia. Sementara nakal dan jahilnya ke gue semua. Nggak adil," katanya. Karina tertawa kecil.

"Nggak mungkin lah, pasti lo punya bakat dari bokap lo."

"Gue cuma bisa main gitar."

Karina tersenyum hangat. "Gue belum lancar main gitar."

"Boleh gue liat lagu lo?," tanya Jeno. Karina menatapnya ragu, tangan mungil itu enggan bergerak, masih memegang erat laptopnya.

"Kalau nggak boleh, nggak masalah," kata Jeno. Gadis itu lalu menggeser laptopnya ke arah Jeno.

"Gue belum nyelesaiin liriknya."

Jeno tersenyum. Ia menyalakan laptop itu, kemudian mendengarkan demo lagu milik Karina. Lagu itu tidak buruk, Karina pandai dalam hal ini, hanya butuh banyak latihan.

"Gue pengen jadi penulis lagu, tapi bokap gue bilang kuliah lebih penting. Karena nggak punya dana buat pergi ke L.A. sendiri, akhirnya gue nurut," tuturnya. Jeno menatap gadis itu dengan senyuman tipis. Ada rasa senang karena Karina berbicara banyak hari ini, tetapi kenyataan bahwa ayah gadis itu tidak mendukung mimpinya bukanlah cerita manis.

Yin-Yang [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang