14. Mendung

330 75 1
                                    

Pramudia Belantara tentu saja berpikiran negatif. Rasa panik dan khawatir telah bercampur dengan amarah. Baginya, Jeno sudah melampaui batas. Dia menampar Jeno, sangat keras hingga Titan dapat merasakan ngilu di pipinya sendiri. Mungkin beliau akan menyesalinya beberapa menit lagi.

"Selama ini, kamu buat masalah, Papa diem aja. Sekarang udah kelewatan, No! Apa maksud kamu? Mau bunuh orang?"

"Pa-"

"Nggak ada yang nyuruh kamu bicara, Titan," tegasnya. Titan menahan napas, mengurungkan niatnya untuk bicara. Baik Titan atau Jeno, belum pernah melihat Ayah mereka semarah ini. Tetapi sedikit ironis, Jeno harus menerima kemarahan sebesar ini untuk kesalahan yang tidak dia lakukan. "Sekarang jelasin, mau kamu apa? Mau berhenti kuliah? Mau sok jagoan?"

"Bukan Jeno yang matahin tulang rusuk Mario," kata Jeno.

PLAK!

Lagi-lagi Jeno mendapat tamparan. Kedua pipinya memanas dan meninggalkan bekas merah.

"Jangan ngelak! Semua orang bilang kamu yang mukulin dia!"

"Pa-"

"Berani jawab kamu?!"

Jeno menggertakkan giginya, berusaha menahan amarah yang hendak meledak. Bagaimana pun juga, tidak pantas jika dia sampai membentak ayahnya.

"Papa bakal keluarin kamu dari kampus. Nggak perlu kuliah-kuliahan! Kamu pindah ke New York, papa tau sekolah yang cocok."

"Papa bahkan nggak repot-repot dengerin Jeno, buat apa Jeno bela diri kan? Gimanapun, di mata papa, Jeno tersangkanya. Nggak perlu pindahin Jeno, Jeno pergi sendiri," katanya. Jeno membalikkan badan setelah menatap tajam mata sang ayah. Dia keluar dari rumah, membiarkan pintu terbanting di belakangnya.

"No!" Titan hendak mengejar Jeno, tetapi ayahnya menahan.

"Biarin." Pramudia menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Dia harus belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri."

Jeno memakai helmnya. Hujan lagi-lagi mengguyur Kota Jakarta. Ini adalah problematika kehidupan, hal yang harus ada dalam kisah semua orang. Tetapi tidak bisa kah Jeno memilih problematikanya sendiri? Sesuatu yang jauh dari kata kepercayaan dan keluarga. Kedua hal itu... sakitnya tidak terkira.

[◇♤♡♧]

Malam semakin larut. Suara gemuruh di gelapnya langit membuat Titan bergidik. Mengintip mendung dari balik jendela, rasa khawatirnya bertambah. Dimana Jeno sekarang? Apa dia baik-baik saja? Apa dia sudah makan? Dia tidak kehujanan, bukan?

Tiga puluh empat kali Titan menelepon, tidak ada jawaban. Kali terakhir, ponsel Jeno dimatikan. Titan semakin khawatir. Tidakkah bocah itu tahu?

"Kemana sih lo, Jen?," gumamnya.

"Kak?" Dewi memanggil dari depan pintu kamar. Titan membalikkan badan dengan senyuman, berharap kekhawatiran Dewi tidak bertambah. "Jeno belum ada kabar?," tanyanya.

Titan harus memilih dengan cepat, berbohong atau jujur. Jika dia berbohong, Dewi akan lebih lega, tetapi percuma saja, Titan tidak akan bisa menjelaskan lebih lanjut jika diminta.

Yin-Yang [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang