13. Petaka Hukum

664 113 3
                                    

Tidak dapat dipungkiri, Jeno takut. Dia sangat ketakutan sampai tak tahu harus memberi reaksi apa.

"Dimana?," tanya Jeno.

"Di depan gerbang. No, lo inget kata-kata Hayang, 'kan?"

Yang mana? Jeno tidak ingat apa-apa. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa kata Hayang? El mengguncang bahunya.

"NO!"

Benar, sekarang dia ingat. "Iya... gue inget."

"Tetep tenang! Gue bakal hubungin anak-anak setelah ini."

"Pas kalian bilang ke Karina kalau gue ditangkap, jangan bilang soal rencana Hayang. Dia bakal makin khawatir."

"Lo... mau ninggalin dia gitu aja?"

[◇♤♡♧]

Kelas hari ini cukup berat. Karina rasa otaknya menguap. Hanya sedikit materi yang masuk ke dalam otaknya. Seolah-olah diberi peringatan, "PENYIMPANAN HAMPIR HABIS!". Berat sekali.

Dia baru saja keluar dari kelas. Pukul 2 siang. Beberapa mahasiswa lainnya memilih untuk pulang. Cuaca sedang tidak bagus. Mendung menguasai langit. Pasti akan hujan, lagi. Hujan membuat Karina ingat aroma jaket kulit Jeno, tepat sebelum mereka berciuman. Ciuman pertama Karina.

"Rin!" Panggilan Reino menghentikan langkahnya. Pria manis itu tampak panik dan tergesa-gesa.

"Rei? Kenapa?"

"Jangan panik. Jeno ditangkap polisi."

Tidak panik. Hanya saja serasa otot tubuhnya enyah dan nyawanya pergi meninggalkan raga. Jeno...

[◇♤♡♧]

Melihat mereka seperti ini, apakah cemburu adalah kata yang tepat? Meski mengetahui bahwa Sevina bukanlah tipe Titan, dan pemuda itu hanya membantunya, ada rasa kesal dalam hati Sheila. Seperti... entahlah... Tidak rela melihat Titan berdekatan dengan gadis lain? Apalagi merangkulnya...

"Jangan diem aja dong..." bisik Wendy. Kesal karena Sheila hanya menatap Titan yang memapah Sevina. Gadis itu jatuh dari tangga delapan menit yang lalu. Wendy merasa senang sekaligus kesal. Senang karena dia jatuh, dan kesal karena, kenapa harus Titan yang membantunya?

Sheila menggelengkan kepala. "Nggak, ah," balasnya ikut berbisik. Wendy mendengus. Upik abu seperti temannya ini, membutuhkan bantuan ibu peri untuk menjadi Cinderella. Disinilah peran teman sejati bekerja.

"Tan? Biar gue aja yang ngobatin Sevina. Kalian ada kelas sore, 'kan?," kata Wendy.

"Nggak ngerepotin, 'kan? Lo kuat Wen?," tanya Titan. Dengan cepat Wendy menganggukkan kepala.

"Kuat dong, gini doang," katanya.

"Eh... nanti kalau Kak Wendy nggak kuat, terus jatuh, makin parah cederanya." Sevina memberi alasan.

"Iya juga..." ujar Titan. Wendy berdecak.

"Gue kuat. Dia nggak lebih berat dari Reino. Gue pernah gendong Reino naik ke lantai dua, santai aja, Tan."

Sevina mengatupkan rahangnya. Mengapa orang-orang ini tidak bisa melihatnya bahagia meski hanya sebentar saja?

"Ya udah. Kalau gitu, gue minta tolong ya Wen? Gue sama Sheila mau ke kelas habis ini."

Yin-Yang [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang