"Hei anak petani!" Panggil anak dengan tubuh tambun yang dikelilingi oleh 3 teman lainnya.Anak yang dipanggil pun tidak ingin menoleh, dia sudah hapal betul perangai teman satu kelasnya itu.
"Lihat dia sombong sekali, tidak menoleh saat dipanggil," Kata salah satu dari teman anak tambun tadi.
"Hei! Anak petani jagung! Lihat itu rambut mu penuh dengan serabut jagung! Lebih baik kau membantu ayahmu saja, tidak perlu bersekolah. Nanti juga jadi petani saat kau besar!" Lanjut si anak tambun dan disambut tawa oleh teman-temannya.
Anak itu meremas botol minum yang dia bawa dari rumah. Mendengar cemooh dari teman sekolahnya, sudah sering dia dengar sedari masuk di sekolah ini.
Dia merutuki pamannya yang bersikeras menyekolahkannya di sekolah dasar pinggir kota yang tak jauh dari desa mereka.
Menurut pamannya, anak ini pintar. Sayang kalau hanya bersekolah seadanya di desa mereka. Saat kedua kakaknya masih berusaha belajar membaca dan berhitung, si bontot justru terlebih dahulu bisa mengeja dan berhitung dengan benar di usianya yang baru menginjak 3 tahun.
Anak tambun itu benar, dia hanya seorang anak petani. Tapi ladang yang di garap kedua orang tuanya itu bukan hanya ladang jagung. Walaupun jagung yang mereka tanam pun bukan jagung biasa. Jagung itu memiliki bibit dan hasil yang baik. Hasil panen mereka tidak hanya dikirim ke kota. Namun sampai dikirim ke luar negeri. Begitu juga dengan padi dan tebu yang mereka hasilkan.
Saat anak itu mencoba menghindar dari ledekan teman-temannya itu, salah satu dari anak tadi mengejarnya. Menarik tasnya yang ringkih karena sudah dua kali dijahit oleh ibunya. Tas lungsuran dari kakaknya.
"Aduh!" Keluh anak itu saat badannya terpelanting akibat tarikan kencang dari temannya.
"Kau dengar tidak kalau dipanggil heh!" Kata si anak yang berbaju rapih, memakai jam dan tas yang diyakini asli buatan luar negeri.
Suara tawa jelas terdengar setelah kejadian barusan. Anak bertubuh tambun dan ketiga temannya itu kompak menertawakan si anak petani yang terjatuh.
"Sakit ya? Makanya kalau dipanggil tuh dengar!" Kata si anak yang bertubuh tambun itu lagi.
Saat si anak yang tadi menarik tas anak petani itu mendekat dan hendak melakukan hal lain, tiba-tiba saja tasnya ditarik oleh seseorang. Membuat dia hampir terjatuh.
"Heh! Apa yang kau lakukan?" Kata si anak marah.
"Ada orang jatuh, bukannya dibantu malah kalian tertawai,"
"Tidak usah sok jadi pahlawan lah, hei anak baru!" Kata si anak yang bertubuh tambun saat melihat temannya hampir terjatuh tadi.
Si anak baru itu menghampiri anak yang dipanggil anak petani oleh kawanan anak bertubuh tambun. Mengulurkan tangannya.
Saat si anak petani itu ingin meraih tangan anak baru tersebut, kini giliran tasnya yang ditarik.
"Dibilang tidak usah sok jagoan! Anak baru banyak lagak sekali,"
"Aku hanya ingin menolong temanku. Bukan mau jadi jagoan atau pahlawan. Jadi kalian diam sajalah!" Kesal si anak baru.
"Oh berani kau ya?" Tangan anak itu hendak memukul, tapi si anak baru itu dengan cepat menangkapnya.
Si anak tambun dan dua teman lainnya bangkit dari duduknya. Kaget dan mengantisipasi tidakan anak baru itu pada temannya.
"Jangan buat aku marah. Aku bisa menghajar kalian semua. Nanti kau menangis, luka. Biaya dokter kemarin saja, ayahmu yang katanya kaya itu tidak mau bayar. Kasihan ayahku lah. Capek-capek sekolah tinggi, jadi dokter. Dibayar dengan makasih saja. Kalau yang melakukan itu, anaknya tidak sok kaya sih mungkin aku ikhlas," Kata si anak baru penuh penekanan.