Es krim.
Es krim.
Es krim.
Dari tadi, itu aja yang terngiang-ngiang di kepala. Pak Suminto, guru matematika, sibuk menjelaskan tentang sifat-sifat turunan sementara gue sibuk membayangkan pulang sekolah nanti, gue makan es krim di cuaca yang sedang panas-panasnya. Mantap betul.
Hampir aja ngeces. Gue mengelap pinggiran bibir gue dan mencoba kembali fokus mendengarkan cerita pengalaman Pak Suminto bersama sifat-sifat turunan.
"Shena, apa kata terakhir yang saya ucapkan?" Pak Suminto tiba-tiba bertanya.
"Ucapkan, Pak," jawab gue cepat.
Semua siswa-siswi di kelas gue tertawa mendengar jawaban gue.
Pak Suminto mengernyit dan memberikan tanggapan atas jawaban gue, "Bener juga jawaban kamu."
Untungnya, aman kali ini. Gue mengelus dada gue seraya menormalkan detak jantung yang memompa terlalu cepat akibat ditanya secara tiba-tiba.
Pelajaran matematika pun selesai.
Asik, abis ini tinggal olahraga dan biologi. Selangkah lebih dekat dengan es krim. Bergegas membereskan semua buku dan peralatan yang ada di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas. Bangkit dari kursi dan melangkah keluar kelas.
"Shena," panggil Matt menghentikan langkah gue.
"Iya?" balas gue seraya membalikkan badan menghadap Matt.
"Uhm, soal kejadian sepuluh tahun yang lalu. Gue minta maaf ya, dulu gue jahat banget kalo diinget-inget," Matt meminta maaf dan berjalan mendekat ke arah gue.
Ternyata Matt masih inget. I thought he was forgetting all of our childhood memories.
Berusaha menutupi ekspresi terkejut gue menjadi seolah-olah biasa aja, gue menjawab permintaan maaf Matt, "Hey, it's okay Matt. Santai aja. Kejadiannya kan udah sepuluh tahun yang lalu."
"Now, everything is okay, right?"
"Yup."
***
"Mbak, mau satu ya yang rasa mint chocolate," ujar gue kepada mbak penjaga toko es krim dengan bersemangat.
"Rasa chocolate satu ya, Mbak," pesan Davin.
Ckckck. Masih klasik aja dia mesennya rasa coklat kayak anak bocah. Setelah mendapat es krim yang dipesan, gue dan Davin memutuskan untuk duduk di tempat yang disediakan sembari menghabiskan es krim.
"Gimana lukisan lo?" tanya Davin.
"Udah 65% jadi," jawab gue dengan masih asik memakan es krim yang mantap jiwa ini.
"Hari Sabtu gue bantuin deh."
"Ngapain? Lo kan gak bisa ngelukis."
"Yaudah kalo ga mau ya gapapa."
Di satu sisi, jika dia ada juga nanti sama aja kayak kejadian di perpustakaan dua hari yang lalu alias gak ngapa-ngapain. Di sisi lain, gue juga butuh bantuan buat bersihin kuas dan lain-lain.
"Bercanda. Hari Sabtu bantuin gue ya," ujar gue kepada Davin.
Sedari tadi gue melihat banyak karyawan kantoran yang datang berkunjung ke toko es krim ini. Ngeliat mereka yang berlalu lalang, gue jadi berpikir apakah di masa depan gue akan seperti mereka? Gue bakal jadi kayak gimana ya di masa depan?
"Lo mau ambil apa kuliah nanti?" Pertanyaan itu secara otomatis gue ucapkan.
"Jurusan yang paling susah dimasukin apa?"
"Kedokteran?"
"Kedokteran it is."
Bukan hanya gaya pakaiannya yang slengean ternyata orangnya juga. Seorang Davin mau ambil kedokteran?
Gue menyeringai sekaligus bersyukur gue masih ada temen yang belum ada arah hidupnya. Gue yakin si Davin cuma berbicara asal tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Gue serius," Davin berucap dengan wajah meyakinkan.
"Lo serius?"
Davin membalas pertanyaan gue, "Lo pernah denger gak kalimat kalo mimpi lo belum membuat lo takut berarti mimpi lo kurang besar?"
Gue mengangguk pelan menjawab pertanyaan Davin.
"So, what are you waiting for? Dream big, mate."
***
Double update euy hari ini.
Biar apa sih double update? Biar senang dong.
-Dep's
KAMU SEDANG MEMBACA
She: The Beginning [REVISI]
Novela Juvenil[FOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA] Kata orang, kita tidak akan bisa melupakan cinta pertama kita. Well, that's true tapi.. ...apakah cinta pertama kita harus muncul kembali setelah pergi tanpa jejak? BAM! Kenyataan pahit itu harus diterima oleh Shen...