Part : 2

281 25 3
                                    

Tears Are Falling

"Sampai napas terakhir, aku selalu mencintaimu," Jeno Lee

Berulang kali Jeno menenangkan istrinya yang menangis tiada henti. Sudah berapa kalimat juga yang meluncur dari bibir Jeno supaya istrinya berhenti menangis. Tapi sepertinya percuma. Tangisannya malah semakin menjadi. Jeno tahu Hime belum siap dengan kepergian nenek. Betapa Pria itu mengenal dengan baik nenek dan Hime dari dulu.

Ya mereka memang begitu dekat. Ketika kedua orang tua Hime meninggal sewaktu umurnya masih dua tahun karena kecelakaan neneklah yang selama ini mengasuh Hime. Jadi ikatan batin antara keduanya pastilah sangat kuat. Tapi sadarkah Hime ini sudah satu bulan neneknya meninggal.

Tapi hanya melihat poto neneknya saja maka wanita itu akan langsung menangis. Parahnya lagi selama itu pula Hime tidak pernah pulang ke rumah melainkan tinggal dirumah neneknya.

Orang yang sudah pergi relakan saja pergi. Kita yang di dunia hanya bisa mendoakan mereka disana agar kehidupannya lebih baik daripada dunia ini. Boleh bersedih tapi setidaknya jangan meratapi.

Tapi semua kata-kata bijak Jeno seperti angin lalu saja bagi Hime. Dia tetap seperti itu. Memandangi poto neneknya, menangis, tertidur, lalu bangun dan menangis lagi. Jeno benar-benar harus ekstra sabar menghadapi istrinya itu.

Seperti malam ini, pulang dari kantor Jeno segera pergi kesana. Ketika dirinya sampai Jeno mendapati Hime sedang duduk disofa. Menyandarkan kepalanya dipunggung sofa tidak lupa kedua tangannya memeluk bingkai poto. Matanya bengkak, hidungnya memerah, dan wajahnya terlihat tirus. Jeno benar-benar tidak tahan melihat istrinya seperti itu. Hatinya ikut merasakan sakit.

"Sayang, ayo kita pulang," Jeno berjongkok dihadapan Hime memandang istrinya yang nampak melamun. Hime hanya menggeleng.

"Ok. Kita akan tidur disini. Hanya malam ini dan besok kita harus pulang," mendengar perkataan Jeno, Hime mendorong bahu suaminya lalu bangkit dari duduknya. Jeno terduduk dilantai memperhatikan ekspresi wajah istrinya yang nampak tak suka.

"Kenapa aku harus pulang? Ini rumahku," setelah mengatakan itu dengan nada tajam Hime meninggalkan Jeno begitu saja. Hime memilih pergi kekamar neneknya.

"Sabar Jeno. Sabar," Jeno bergumam pelan.

Jeno kembali menghela napasnya ketika mendapati istrinya yang sudah menangis lagi ditepi ranjang. Isakannya terdengar begitu pilu ditelinga Jeno.

"Sayang," panggil Jeno kemudian sembari menghampiri Hime.

Perlahan Jeno menyentuh pundak Hime. Mengelusnya perlahan mencoba memberi kenyamanan pada istrinya. Isakan Hime lama-lama menghilang digantikan dengan cegukan yang keluar dari bibirnya.

"Jangan menangis," kata Jeno lembut. Kedua ibu jarinya menghapus jejak airmata dipipi Hime.

"Kalau kamu menangis terus air matamu bisa kering. Lalu nanti kalau aku yang pergi siapa yang akan menangisiku, eoh?"

Mendengar kata-kata Jeno seketika membuat mata Hime membulat.

"Jangan. Kenapa kamu bicara begitu?" Hime cemberut membuat Jeno gemas lalu mencubit pipinya.

"Bercanda," Jeno melepaskan cubitannya dan  kembali mengusap kepala Hime lembut.

"Jangan menangis lagi. Melihatmu menangis membuatku merasa menjadi suami yang bodoh karena tidak bisa menghilangkan kesedihanmu," Jeno tersenyum hangat membuat hati Hime merasa kembali nyaman.

Jeno | Tears Are Falling [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang