Summary : "Karena sekarang aku mengidolakanmu,"
————
Hari ini Hime dan Jeno pergi mengunjungi makam kedua orang tua Hime. Meminta restu untuk pernikahan mereka tiga hari lagi. Setelah berkunjung ke makam, mereka berencana mengurus kepindahan ke rumah baru yang terletak didaerah gangnam. Sebenarnya rumah mereka sudah delapan puluh persen selesai. Hanya kamar utama dan ruang kerja Jeno saja yang belum tersentuh. Jadi Hime ingin kesana dan merapikannya. Hanya Hime, tidak dengan Jeno pria itu terlalu malas untuk urusan rapi merapikan. Jeno mengusulkan lebih baik mereka melihat gedung tempat diadakannya pesta pernikahan mereka nanti. Urusan rumah baru biar penata dekor yang melakukannya. Tapi bukan Hime namanya kalau tidak keras kepala. Gadis itu tetap bersikeras pergi walaupun Jeno tidak mau menemaninya.
Dan disinilah Hime sekarang. Mengepel lantai yang akan menjadi kamarnya nanti. Sendirian. Bisa kalian bayangkan betapa luasnya kamar utama itu. Luasnya dua kali lapangan sepak bola di sekolah Hime dulu. Oh kalian pasti tidak tahu karena kalian tidak pernah melihatnya. Tapi percayalah kamar ini benar-benar luas. Hime sampai harus mengusap peluhnya berpuluh kali. Mungkin bajunya bisa diperas sekarang.
"Huft. . . Selesai juga," Hime melemparkan kain pelnya ke sudut ruangan lalu memandang takjub lantai yang sekarang begitu mengkilap.
"Woaaah, lama juga merapikan kamar ini," Hime melihat jam dinding lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Waktunya mandi," Hime bergegas ke kamar mandi yang letaknya disebelah kanan pintu masuk kamar.
————
Dua puluh menit setelah Hime masuk kekamar mandi, Jeno tiba dirumah mereka.
"Sepi sekali, kemana dia?" Tanya Jeno lebih kepada dirinya sendiri. Jeno naik ke lantai dua, tujuannya tentu saja kamar mereka. Jeno membuka pintu kamar dan mendapati kamar kosong melompong. Jeno menelengkan kepalanya.
"Sayang!" Panggilnya kemudian. Jeno memasuki kamar mereka lalu menutup pintunya pelan. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Jeno tersenyum mendapati calon istrinya keluar dari sana.
"Kamar mandinya seluas kamarku dirumah," kata Hime seraya mengeringkan rambutnya yang basah.
"Tentu saja. Berterima kasihlah pada sepupumu yang sudah berperan besar dalam mendesain rumah ini," Jeno lalu mengambil alih handuk Hime menggantikan gadis itu mengeringkan rambutnya. Hime menganggukkan kepalanya.
"Kamu wangi," ucap Jeno lalu mulai menciumi pipi, telinga, dan leher Hime.
"Jangan mulai," Hime merampas handuk ditangan Jeno lalu mendorong pria itu agar menjauh darinya. Huh, dasar pria. Untung saja Hime sudah pakai baju tadi dikamar mandi. Kalau tidak mungkin sekarang dia . . . Ugh tidak perlu dilanjutkan.
"Bagaimana gedungnya?" Hime mengambil sisir diatas meja rias. Jeno menghampiri Hime lalu merampas sisir yang baru saja mau digunakan olehnya. Dengan santainya Jeno melempar asal sisir malang itu. Tangan Jeno beralih mengelus pelan rambut Hime yang setengah basah. Mengumpulkan rambut hitam panjang itu kebahu sebelah kanan Hime.
"Aku suka jika rambutmu tidak dirapikan seperti ini. Terlihat seksi," Jeno berkata dengan suara husky-nya. Oh jangan harap Hime akan tergoda dengan suara itu karena gadis itu terlalu tahu segala tipu muslihat Jeno yang selalu berusaha menggodanya. Entah sejak kapan bibir Jeno sudah bermain diatas leher Hime. Mengecupi setiap jengkal kulit putih yang dari tadi sudah menggodanya.
"Berhenti Lee Jen-akh! Yak!" Hime menepuk kepala Jeno kuat ketika pria itu menggigit lehernya. Jeno meringis pelan sambil mengusap kepalanya yang berdenyut sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeno | Tears Are Falling [COMPLETED]
Fiksi Penggemar[PG+16] | Completed "Sampai napas terakhir, aku selalu mencintaimu," Jeno Lee :: Part sudah lengkap :: Don't be silent readers