Summary : "Jadi kamu benar-benar akan menikah?"
—————
Besoknya dengan senyuman lebar Hime datang ke ruangan Renjun setelah sebelumnya menyerahkan surat pengunduran diri pada Manager Hyun. Hari ini Hime kembali mengepang rambutnya. Wajahnya nampak berseri-seri, beda sekali dengan kemarin. Hime mengangsurkan sebuah undangan pernikahan. Dengan ragu Renjun menerimanya.
"Jadi kamu benar-benar akan menikah?" Tanya Renjun setelah membaca isi undangan itu.
"Eoh, aku ingin kamu datang dan menyumbangkan sebuah lagu dihari pernikahanku," Hime mengulaskan senyuman kembali.
"Aku ti-"
"Kumohon, kamu mau kan?"
"Baiklah, aku akan datang," Renjun berkata pelan.
"Terima kasih, Ren."
—————
Setelah kepulangan Jeno dari Amerika, ibu dan ayah meminta Jeno untuk datang ke rumah Hime. Tentu saja meminta restu. Sebelumnya, ia mengira pernikahannya tetap di undur. Namun orang tuanya berkata pernikahan akan dilangsungkan seperti rencana semula atas keinginan Hime dan juga nenek.
"Kami memohon doa restu nenek," Jeno dan Hime bersujud dihadapan nenek. Wanita tua itu tersenyum lalu menepuk bahu keduanya.
"Nenek merestui kalian," setelah mendengar perkataan nenek Jeno dan Hime kembali menegakkan tubuh mereka.
"Terima kasih, nek," kata pasangan muda itu dengan wajah bahagia.
————
"Apa aku terlihat cantik hari ini?" Hime memecah keheningan diantara mereka. Sejak kepulangan Jeno dari Amerika, pria itu jarang sekali berbicara padanya. Biasanya Jeno sangatlah cerewet dan menyebalkan. Apa dia masih marah?
"Lumayan, tidak terlalu buruk juga jika kamu memakai hanbok," Jeno memandang Hime dari atas sampai bawah. Ya gadis itu memang mengenakan hanbok hari ini.
"Lumayan? Aku sudah berdandan habis-habisan kamu cuma bilang lumayan!" kesal Hime tapi Jeno kembali mengacuhkannya dan lebih memilih mengalihkan pandangannya kedepan. Hime menyentakkan lengan Jeno membuat pria itu kembali menghadapnya.
"Kamu masih kesal padaku?"
"Menurutmu?" Jeno menaikkan sebelah alisnya dengan wajah datar. Oh! Demi Tuhan sikap Jeno yang seperti ini yang selalu membuat Hime kesal. Lalu dengan inisiatifnya Hime merangkulkan kedua lengannya dileher Jeno.
"Aku kan sudah minta maaf. Lagipula kita tetap akan menikah beberapa hari lagi. Kamu tidak ada rencana mendiamkanku dalam waktu yang lama kan?" Jeno berdecak malas mendengar perkataan Hime.
"Yak! Lee Jeno!"
"Ucapkan mantranya," Jeno menatap Hime yang kini cemberut.
"Baiklah. Tapi berjanjilah setelah ini kamu tidak akan marah lagi."
"Tergantung. Kamu tulus atau tidak mengucapkan mantranya."
Hime mendecih sebal membuat Jeno berusaha menahan senyumannya. Hahaha, kapan lagi membuat Hime kesal seperti ini?
Hime berjinjit agar bisa menyeimbangi tinggi badan Jeno. Perlahan mendekatkan wajahnya lalu mengecup lembut bibir Jeno.
"Saranghae," bisiknya kemudian diatas bibir Jeno. Pria itu tersenyum lalu tanpa aba-aba meraup bibir Hime.
Memanggutnya lembut dan menghisapnya perlahan. Hime membuka sedikit celah bibirnya membuat ciuman Jeno semakin dalam. Hime menepuk dada Jeno ketika dirasa ciuman itu membuat paru-parunya terbakar. Jeno melepaskan ciumannya lalu mengusap pelan bibir Hime yang basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeno | Tears Are Falling [COMPLETED]
Fanfiction[PG+16] | Completed "Sampai napas terakhir, aku selalu mencintaimu," Jeno Lee :: Part sudah lengkap :: Don't be silent readers