Cakrawala Senja

82 10 0
                                    

Jembatan Merdeka, tepi sungai Martapura, pukul delapan jelang sembilan malam bulan Mei. Kita berdiri berdua, bertumpu birai, tanpa saling pandang tapi menatap aliran air yang sama. Air mulai pasang, nyaris menenggelamkan dermaga tempat kelotok -parahu bermesin- tertambat. Kamu tiba-tiba menggenggam tanganku erat. Erat sekali untuk ukuran orang yang sedang tidak menyeberang jalan. Retina kita bertemu, lalu saling bertatapan. Sudut bibirmu tertarik ke pipi. Aku suka sekali.

Dalam remang cahaya lampu yang keemasan, aku menjelajahi ingatan dari lensa matamu yang kecokelatan. Masih sama seperti bertahun silam, teduh dan menyajikan kehangatan. Sesuatu yang kurindui setiap hari, setiap waktu, setiap kita tidak bertemu.

"Sudah dilarung semua kenangannya?" tanyamu. Bibirku langsung maju, mencebik sebagai jawaban untukmu. Kamu tidak marah, malah terkekeh.

"Kalau belum, biar kuhantar ketemu. Kantor barunya kan dekat dari sini," godamu usil sekali.

Hendak kutarik jemari dari tangkupan telapak tanganmu yang sebesar ikan tapah itu, tapi aku tak berdaya. Kamu mengenggam erat sekali. Aku baru akan merajuk ketika lenganmu yang bagaikan sulur bakung itu lebih dulu merengkuh, mengusap-usap bahu. Kupikir sekarang kita mulai mirip sepasang tokoh di serial kartun Rusia. Kamu beruangnya dan aku bocah kecil dengan kerudung merah jambu. Persis sekali. Kamu dibalut kemeja cokelat tanah sedang rambutku dihimpun sehelai kerudung merah muda.

Romansa kita terjeda. Di bawah sana, di siring sungai Martapura, sepasang muda-mudi sedang adu argumentasi. Si perempuan menampik tangan yang lelaki, lalu bergegas pergi. Mereka menjadi seperti orang yang tak saling kenal lagi. Padahal mungkin, ribuan kenangan pernah diukir bersama-sama. Suka, duka, cinta.

"Kenapa ya, orang pacaran lama tapi bisa putus juga?" gumamku nyaris sesiut angin bertiup.

Namun, bisa jadi itu terdengar seperti petir yang menyambar-nyambar bagimu. Tatapanmu mendadak nyalang, genggaman tanganmu melonggar, ada yang jarak di antara rengkuh. Kentara sekali ketika angin menyusup kita.

"Kamu nerima aku sebagai pembalasan sakit hati ke dia karena kami karib dekat?" tuntutmu tiba-tiba. Nada bicaramu mengintimidasi. Hatiku seketika nyeri.

Bibir bawahku langsung tertarik ke balik gigi. Kelopak mataku mulai bergetar sekarang. "Kalau niatku begitu, dari pertama ketemu kita pasti langsung sepakat menjalin hati. Kenyataannya kan satu tahun kubiarkan kamu berjuang sendirian," bantahku kepadamu.

Kamu bergeming. Dari air mukamu, tersirat ketidakpercayaan yang memancar tanpa mampu kau sembunyikan.

"Aku mulai ragu satu tahun itu kamu gunakan untuk memulihkan hati. Bisa jadi karena memang kamu masih mencintainya sangat dalam, bahkan mungkin sampai hari ini," tudingmu membeliakkan mataku. "Kalau niat kamu memang begitu, kamu bukan saja berhasil mengecewakan dia, tapi juga dirimu sendiri. Menjalin hati dengan orang terdekatnya yang bertujuan untuk membuat luka orang kamu cinta, nyatanya akan melukai dirimu sendiri juga. Ingat itu."

Kamu tidak beranjak, rengkuhan kita terlepas. Pandangan matamu kau buang ke sungai Martapura yang beriak ditingkahi baling mesin klotok. Segalanya mendadak dingin dan hampa. Kamu diam, aku memilih tidak bicara. Kita baru tiba sore tadi, disambut hujan jelang bulan Juni. Sama sekali bukan hujan yang tabah karena deras sekali. Beruntung pesawat tetap mencecap landasan tepat pada waktunya.

"Aku tidak tahu ini kejujuran ke berapa sepanjang kebersamaan kita," ujarku membuka kata setelah kita saling diam cukup lama. Deru kendaraan mulai sepi malam itu. Menguntungkan bagiku sehingga tak perlu berbicara dengan nada tinggi agar menyentuh gendang telingamu.

"Tapi kurasa, tidak ada salahnya mengulang. Barangkali kesibukan membuat kita lupa pada cerita-cerita lama." Suaraku serak. Lirih, nyaris terisak.

Siapa yang tahan bertengkar di malam pertama liburan?

Bukankah niat kita ke sini untuk menghangatkan apa yang sempat dingin?

Melipat jarak yang memisah demikian kejam?

Kamu di tepi pantai, aku di bibir sungai.

Lalu sekarang, kita habiskan energi karena masa lalu yang kembali kamu buka. Siapa yang tidak berduka?

"Ini mungkin pahit, tapi lebih baik aku ceritakan lagi. Mudah-mudahan hatimu lega setelahnya. Di awal kebersamaan kita, aku memang masih menyimpan ingatan tentang dia. Lekat. Sangat lekat, walau kami dipisah jarak. Tapi itu tidak lama. Kamu perlahan masuk, menggeser posisinya seperti angin menyapu bunga flamboyan di musim kemarau. Sepai, berserak, hingga hilang sepenuhnya.

Lalu tahun-tahun kita bergerak maju. Aku pun begitu. Ingatan tentangnya lesap nyaris tak bersisa. Kecuali ia masa laluku sekaligus karibmu. Saat kita sepakat memintal hati, saat itu juga perasaanku kepadanya tidak berarti apa-apa lagi. Bukti kehampaan itu adalah ketika aku mau menemuinya setahun setelah kita bersama. Semuanya berjalan biasa bukan?"

Kamu mengangguk. Memelukku lagi. Kurasakan deru hangat menyapu pucuk kepala. Deru napasmu. Sesuatu yang selalu kurindui tanpa jemu.

"Destinasi selanjutnya jangan sungai Martapura lagi deh kayaknya. Kenangan kamu kebanyakan di sini," ucapmu.

"Terus ke mana?"

"Kamar hotel aja, kangen," kerlingmu jenaka.

Aku tertawa, menepuk dadamu. "Maunya!"

Dan setelahnya, kita duduk sembari menjuntaikan kaki di atap klotok yang bergerak perlahan melewati patung Bekantan. Kamu berkelakar hewan berhidung mancung itu blasteran.

"Blasteran apa sama apa?" tanyaku penasaran.

Kamu tertawa, matamu sampai pejam saking lepasnya. "Blasteran kera sama kesumba, makanya bulunya jingga."

Aku mendengus. Jelas-jelas warna rambut bekantan kuning agak kecokelatan. Memang menyebalkan. Tapi aku tahu, aku suka mengobrol denganmu. Kamu, lelaki yang tahan delapan jam duduk di depan meja makan, bertatapan tanpa pernah habis topik perbincangan.

Klotok merapat ke dermaga kecil di depan hotel. Tanganmu memapahku turun. Selain pandai bicara, kamu juga ajaib luar biasa. Sopir kamu minta kembali sendiri, sedangkan kita pulang dengan klotok. Aku terpana, kamu suka. Hal-hal sederhana bisa jadi istimewa bagi orang yang jatuh cinta.

"Jangan tersulut masa lalu lagi ya?" pintaku ketika kaki kita mulai melangkah di dermaga.

Kamu mengangguk. "Kalau aku membuat kamu kecewa, jangan berpikir membalasnya dengan menjadikan orang lain sebagai tameng. Melukai orang yang kamu cintai sama saja menoreh luka untuk dirimu sendiri, Sayang."

"Kalau bisa sih jangan sampai bikin luka," tambahmu kemudian.

Langkah kita terhenti, kamu menatap heran. Aku menggeleng kecil. "Luka itu pasti ada dalam sebuah hubungan. Tinggal bagaimana kita menemukan penawar yang tepat. Jangan diperam. Mungkin tetap berbekas, tapi tidak nyeri lagi. Sama seperti kita sekarang."

Kamu tersenyum. "Mau jadi penulis apa dokter sih? Puitis bener."

Aku memilih tidak menyahut. Otakku sudah mengirim sinyal mengantuk. Bersandar di lenganmu lebih menenangkan. Tanganmu mengusap pipiku. Kita berjalan lagi, maju. Seperti sungai, ia tidak pernah mengalir mundur. Seperti sungai pula, sesekali beriak bahkan berombak, tinggal bagaimana kita menjaga agar sampan yang didayung tidak karam sebelum tiba di dermaga.

---
1011-2017-07-01

Homeopati SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang