Belajar dari Fir'aun

101 18 1
                                    

Malam baru nyaris bertandang, Nak, ketika sebuah stasiun televisi swasta menayangkan berita persidangan salah satu (diduga) pelaku makar -yang singkat kata tukang tipu muslihat menurut kamus Bahasa Indonesia. Mengamati sejenak, kami memutuskan mematikan televisi, menghindari kontaminasi hati dari emosi negatif. Sebelum dimatikan, berita menyiarkan yang bersangkutan dituding tidak hormat terhadap sistem peradilannya. Kami tidak akan berpanjang lidah untuk menitip amanat ini kepadamu, Nak, sekiranya takkan ada manfaat untukmu kelak.

Nak, lelaki berambut keperakan dengan kacamata itu menurut kabar merupakan seorang dosen yang dahulunya rajin mengkicaukan kerisauan di lini masa bernama twitter. Nyaris setahun lalu, ulahnya berhasil membuat huru-hara di negara kita. Orang-orang berorasi, berteriak seakan lalai pada kebaikan Tuhan yang menutup kenistaan dirinya, lupa bahwa manusia adalah ladang ketidaksempurnaan. Padahal, Nak, laut mana yang tak berombak? Bumi mana yang tak ditimpa hujan? Manusia pasti pernah berbuah salah, walaupun sedikit.

Hal ini yang ingin kami petuahkan kepadamu, Nak, perihal orang-orang masa kini yang sering menjelma nabi, seakan segala yang ia lontarkan adalah sabda sahih tanpa bantah, tanpa cela.  Malangnya, Nak, banyak yang terjebak berlagak nabi masa kini itu orang-orang akademisi (sekalipun tidak semua, tentu saja). Dari segelintirnya itu pernah berhadapan denganku.

Orang itu, Nak, memprovokasi fitnah di media sosial. Belakangan fitnah itu akhirnya di bantah oleh sosok lain yang lebih paham dari nabi akademisi ini. Apa yang kau terka, Sayang? Betul, Nak, tak ada Fir'aun yang rendah hati sekadar mengakui kekeliruannya. Demikianlah bentuk manusia "cerdas" masa kini. Ia lupa, ketika pongah, sesungguhnya ilmunya baru sampai pada tingkat pertama. Karena saat menapak tingkat kedua, mestinya ia sadar tak tahu apa-apa, lalu mencapai tangga ketika, ia akan paham hakikat ilmu datang dari Tuhan, titipan yang kapan saja bisa Dia renggut jika kamu tak tawadhu.

Maka, Nak, bila suatu hari kau dianugerahi Tuhan ilmu yang kemudian menuntunmu untuk menuangkannya pada jiwa-jiwa lain, ingatlah sepatah pesan kami ini :

Jangan kau tinggikan hatimu atas hati yang lain. Sebab kau bukan penghulu zaman yang segala tuturnya berisi kebenaran. Kita manusia sebatas mengupayakan.

Demikianlah, Nak. Bilamana kelak hari kau bercita-cita menjadi akademisi, jadilah tawadhu lebih dulu.

Homeopati SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang