Resensi Senja : Anak Sejuta Bintang

220 18 0
                                    

Suatu siang, beberapa waktu silam, saya berkesempatan bertemu salah satu pengusaha yang juga terjun ke dunia politik. Pak Ical atau yang lebih populer dengan panggilan Aburizal Bakrie (ARB). Siang itu, dibalut kemeja putih berlengan pendek, beliau menyapa dengan ramah dan hangat.

Tanpa mengulik polemik lumpur Lapindo dan urusannya dengan Partai Beringin, Pak Ical justru sedang menostalgia masa kecil dan mudanya. Ia menuturkan tentang masa ketika masih sekolah. Cerita lengkap bisa Anda baca di novel biografi beliau yang berjudul Anak Sejuta Bintang.

Di luar kotroversial ketokohan beliau, saya ingin sedikit berbagi apa yang Pak Ical kisahkan pada siang itu. Ia mengenang salah satu putranya, seingat saya Mas Anindya Bakrie, kakak dari suami Nia Ramadhanie.

"Anak sulung saya itu waktu sekolah dia pulang pergi pakai sepeda. Saya biarkan saja supaya dia belajar hidup perlu berusaha. Tidak semua enak," ungkap Pak Ical.

Terlepas seberapa intens Mas Anindya menggowes sepeda daripada menaiki mobil yang disetiri sopirnya, saya menyambut baik kalimat ini. Pun dengan kalimat setelahnya.

"Dalam gelap, bayanganmu pun akan meninggalkanmu. Tapi jangan mengeluh, nyalakan pelita. Saya dulu pernah nyaris bankrut juga, hutang di mana-mana. Cuma saya nggak ngeluh, saya tetap berusaha tampil baik seperti biasa agar investor percaya. Loh iya, kalau kita tampil menyedihkan, bagaimana caranya orang yakin sama kemampuan kita?"

Dua percakapan itu nyatanya cukup membekas bagi saya pribadi. Percaya atau tidak, ketika orang menuju "tokoh" yang dikenali masyarakat kisah perjuangan semasa merintis sukses merupakan salah satu modal penting agar dikenang. Ingat. Pelaut ulung tidak lahir dari ombak yang tenang.

Bahkan Daud Antonius, seorang psikolog yang tenar dengan buku-buku pengembangan dirinya pernah menulis memo pribadi untuk saya. Saya masih ingat dengan baik isinya.

Pemenang itu tidak dilahirkan. Dia dibentuk.

Betul. Dalam upaya dibentuk ini kadang kita terseok. Ada masa-masa gulita, galau, sengsara. Masa ketika kerabat terkadang seakan tak punya pertalian darah. Bahkan seperti kata Pak Ical, bayangan kita pun meninggalkan diri. Masa yang kadang membawa manusia di nadir putus asa. Naudzubillah.

Tidak ada cara lain selain mengkobinasi doa dan usaha. Dua ini dilakukan secara maksimal, kita berhak berharap diberikan yang terbaik oleh Tuhan. Berbaik sangka dengan Tuhan itu perlu lho ya.

Ada kutipan lain yang sebenarnya ingin saya tuliskan lagi. Tapi kalau ditulis nanti malah nyangkut dengan judul buku berbeda. Jadi mungkin saya share di review buku berikutnya saja ya? Mungkin sekitar dua judul. Satu karya penulis lokal, mantan orang penting di Citibank. Satu lagi penulis luar. Family name si penulis cukup terkenal. Ada yang menjadi aktris dan ada pula yang menjadi penulis.

Akhir kata, saran saya tidak ada salahnya membaca novel biografi Pak Ical. Tenang. Insya Allah tidak ada unsur politiknya. Karena novel ini berkisah tentang masa kecil Pak Ical yang sekolah di SR juga beberapa negarawan yang bersentuhan dengan keluarga Bakrie. Ada nilai edukasi sejarah yang dituturkan dengan komunikatif untuk hampir segala usia.

Homeopati SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang