Dongeng untuk Adikku, Rayi Sutan

385 33 15
                                    

Sebegitunya Rindu

Adikku, Rayi Sutan
Tak sekalipun terbersit dalam angan mengenang kembali apa yang telah sama-sama kita lepaskan satu atau dua tahun lalu itu. Sebab telah kita tempuh bukit-bukit rindu, kita seberangi lautan luka, kita arungi savana kecewa. Sudah, Adikku. Sudah semua. Di antaranya tentu pernah sama-sama pula kita tapaki teduhnya hutan pinus, harumnya padang teratai, sejuknya kasih sayang sepasang insan manusia: kau dan dia.

Lalu lamat-lamat, ketika bulan telah semakin renta, ingatan tentang silam kembali berkelebatan. Menerjang tanpa mampu dicegah. Ibarat air bah. Aku kalah, Adikku. Aku menyerah. Maka untukmulah aku menulis ini. Maaf kalau harus mengetuk kembali ingatanmu, ingatan dia, ingatan kita, ingatan siapa-siapa saja yang pernah terlibat dan melibatkan diri waktu itu.

Maka Rayi Sutan, Adikku, mari kita bersepakat dahulu. Mari kita sebut hari ini hari mengenang. Hanya sehari. Mudah-mudahan saat jarum jam bergerak ke angka mula, segalanya kembali biasa. Kembali ke saat aku telah rela melepas semua tentang engkau dan dia. Saat di mana kalian berpamit dengan begitu mesra dalam sebuah pelukan yang teramat erat.

Mari, Adikku, kita mulai saja kisah ini. Mudah-mudahan tidak menyesakkan yang telah lapang, tidak menggenangi yang telah tadah, tidak mengoyak yang telah sudah.

Adikku, Rayi Sutan,
sore kali pertama aku bertemu dengan Anak Daro yang kau cinta, ia menghatur sapa dengan santun. Waktu berlalu hingga ia mulai bercerita tentangmu, tentang kalian berdua. Baru kemudian aku paham perempuan seperti apa yang telah menawan hatimu demikian dalam.

Ia Anak Daro yang baik. Tentu. Takkan bersanding hatimu kalau perempuan itu mencederai bukan? Maka untuk kalianlah aku bersedia sebagai pancur yang apa bila kemarau melanda kalian berdua ia sambangi, ia tanai nasihatnya. Sekalipun kadang aku sendiri masih lalai dan alpa.

Adikku, Rayi Sutan, pada cerita lembar kesekian aku akhirnya paham perempuanmu sering menyimpan ragu. Tabiat perempuan, Adikku. Aku pun begitu. Telinga terbuka. Bibir berkata iya. Di balik punggung kami mencari tahu jua. Memang begitulah. Silakan tanya Abangmu pabila pun engkau ragu tabiat perempuan begitu. Lebih-lebih kalau pernah tercecap dusta dalam hidupnya. Di depan manik matanya pun bisa ia tak percaya.

Rayi Sutan, Adikku, aku tahu kau pasti telah bertutur semua. Dari A sampai Z, dari Alif hingga Ya, dari Selatan ke Utara. Tapi sebagaimana pengakuanku, perempuan memang sarangnya ragu. Maka menghadaplah ia kepadaku. Bertanya tentang dirimu. Kuceritakan semampuku. Sudah tahu katanya begitu.

Aku mengulum senyum. "Kalau begitu untuk apa lagi bertanya tentang Rayi Sutan?"

"Sekadar meyakinkan bahwa tak ada lagi yang ia sembunyikan."

Maka Rayi Sutan, barangkali itulah yang tak sempat kuberitahu padamu, bahkan hingga KITA telah menjelma kembali menjadi KAU dan DIA. Di balik punggungmu ia mencari tahu. Tapi tak perlu juga kau tahu, 'kan? Terpenting kalian lebih paham satu sama lain. Saling mengerti. Saling menjaga hati.

Rayi Sutan, Adikku,
suatu petang bertahun lalu. Perempuanmu pernah bertamu. Kau baru pulang dari negeri Sriwijaya. Kau pulang dengan hati meradang. Sebuah kursi tak bersalah jadi pelampiasan. Kau tak berkata namun minta dipahami. Ia kebingungan, Rayi Sutan. Sudah-sudahnya kalian saling bertukar tangis. Baru setelah sama-sama lega ia akhirnya tahu bahwa kau memendam cemburu. Mendadak Sumatera - Jakarta serasa demikian jauh untukmu. Maka Rayi Sutan, dua pelajaran kita petik bersamaan. Segala yang dalam hati perlu kata sebagai jembatan saling paham. Segala yang digenggam terlampau erat pada akhirnya akan pergi perlahan. Lupa kau waspadai, lalu tiba-tiba sudah tiada lagi.

Banyak kejadian yang kurekam dalam ingatan. Segala yang baik dan buruk. Beberapa memang terhapus waktu. Sisanya tersimpan dalam ruang hatiku, ruang memori ponselku. Sesekali kalau tak sengaja terbuka, beginilah akibatnya. Aku mendadak bertingkah aneh kiranya. Dari minta dicarikan ondel-ondel sebab terkenang Anak Daro yang takut setengah mati pada itu lalu kau pura-pura jadi pahlawannya. Pernah pula aku meminta Abangmu berhenti mendadak di tepian jalan, membujuknya makan malam pecel ayam. Sengaja. Sebab aku ingat cerita sepasang manusia yang senang sekali menghabiskan malam dengan menu tepi jalan, kau ayam goreng dan dia ikan. Sebegitunya rindu, Adikku.

Mari kita lanjutkan, Rayi Sutan, sebelum hari hampir malam dan cerita ini mesti kita akhiri di sini. Lekat dalam ingatanku, prahara ninik-mamak dengan perempuanmu. Anak Daro dianggap telah mencoreng arang ke dahi Datuak, Etek, Angku, atau siapa saja yang merasa itu. Mendadak keluarga Ang merasa enggan bermenantu Anak Daro. Haram jaddah katanya waktu itu. Kaulah yang kemudian menerima titik terendahnya. Saat dunia menghukumnya demikian kejam, demikian perih. Ia yang di ambang putus asa, kau peluk sepenuh jiwa. Kalian berbagi kekuatan, berbagi beban. Hal yang barangkali bila lelaki kini tahu, entah sesanggup itu atau tidak menerimanya, memujanya, mencintainya?

Lalu ada cerita lain, Rayi Sutan. Barangkali ini memang tak sesuai kronologi waktu. Seingatku saja. Kejadiannya bertahun lalu. Pukul empat pagi waktu itu. Perempuanmu menyeret langkah ke tempat wudhu. Matanya memerah sembap. Bengkak. Bibirnya berkedut pucat. Ia menangis semalaman. Tidur tersebab kelelahan. Bangun di sepertiga malam. Tersungkur di sajadah pada malam beku yang serasa melumat tulang. Mendoakanmu yang sempat keliru menempuh jalan. Meski ia juga pernah alpa. Mencecap tidak sengaja. Bertahun lalu, sebelum bertemu denganmu.

Kau pernah begitu kuat, Rayi Sutan, menolak godaan zaman. Sekalipun itu di tengah lautan. Dan kau sedang tak bisa ke mana-mana. Gelombang pasang lain yang pernah kalian hadapi. Ombak yang pernah hampir menelan kalian berdua. Sisi perempuannya dijentik ragu. Ia takut setia bukan lagi kepada yang didarat. Namun kau buktikan kau bertahan. Saban waktu kau kisahkan. Mengeja kata demi kata agar ia percaya. Kalian kembali selamat dari hantaman marabahaya.

Rayi Sutan, zaman memang edan. Bahkan karang bisa berubah serpih setelah dihantam ombak berkali-kali. Kalian menyerah pada almanak kedua menuju tiga. Melepas jalinan yang sempat begitu kuat terpilin.

Hari ini, Rayi Sutan, kupandangi lagi tiga kenangan yang sempat kalian hadiahkan. Masih kusimpan. Sebelum kemudian melesapkannya bersama siut angin musim hujan. Selepas cerita ini selesai kutuliskan.

Kenangan kau mengecup keningnya. Demikian lama. Sepenuh jiwa. Berlatar biru. Kemudian gilirannya mengecup pipimu. Lembut. Malu-malu. Bersemu. Memancar asmara yang baru saja dibina. Penuh romansa dan tawa. Terakhir ... mari biarkan aku menghela napas sejenak. Sebab mengenangnya membuat paruku sesak.

"Kenapa yang ini?"

"Biar sekalian didoakan, bulan delapan tahun sekian, betul terjadi begitu," harapmu waktu itu.

"Apa tidak terlalu ranum? Dua puluh dua almanak pun belum kalau itu."

Kau tersenyum dengan mata berbinar. Agak usil. "Supaya masih kuat kubawa ia keliling dunia ketika anak-anak telah beranjak dari rumah untuk membina keluarga mereka."

Rayi Sutan, Adikku. Tahun ini semestinya rencana mewujud nyata. Kau pinta ia mendampingi menyusur waktu selama napas masih terhela, menghabiskan senja di beranda, menikmati riang gembira jiwa-jiwa mulia. Aku bahkan telah memimpikannya. Namun segalanya tinggal angan. Kalian menempuh jalan sendirian. Memilih luruh sebelum mekar.

Aku baru berniat sudah ketika Abangmu mengendap-endap. Membisik bahwa selama matahari masih terbit di Timur, pantang harap karam tersungkur. Aku tepekur.

Abangmu mengenangkan kembali kisah pendahulu kita. Adam dan Hawa kembali bersama selepas dipisah tanah Nabi dan tanah Dewa. Aktor kawakan dari Negeri Paman Sam berjumpa kembali dengan cinta lamanya nyaris setengah abad kemudian. Seorang aktris yang pernah menjadi lawan mainnya. Pernah membina cinta dengannya. Mereka kemudian berikrar perkawinan. Hampir lima puluh tahun kemudian setelah bertemu di pemakaman masing-masing pasangan.

Aku tak tahu masih berusia sepanjang itukah untuk menyaksikan kau dan Anak Daro mengulang kisah serupa? Namun mudah-mudahan Tuhan berkenan membersamakan sebelum hari terlampau senja. Menghadiahi kalian sepasang jiwa mulia yang bahkan telah jauh hari kalian persiapkan namanya. Nama yang diambil dari Perempuan Suci di bawah Pokok Kurma dan Bendahara Raja yang Pandai Menakwil Tanda.

Demikianlah, Rayi Sutan, hari mengenang kita telah menuju petang. Burung-burung hendak menuju sarang. Aku mesti pulang. Pulang ke masa kini. Menyudahi angan-angan tentang silam.

Dongeng ini tak memiliki tendensi. Pabila selepas membacanya kau tergerak hati untuk memperjuangkan kembali, doaku menyertai. Andaikata pun tidak, sungguh tak apa. Mudah-mudahan kita telah sepenuh rela. Bilamana bukan Anak Daro bermata sehangat kayu yang kelak kau bawa menapak rumah gadang kita, semoga tetap sepenuh paham akan engkau, Adikku.

Mari menepi, matahari kian tinggi, hendak kembali. Di ujung waktu jemariku bergerak tak rela mengetuk ikon tempat sampah. Lalu segalanya menjelma sudah. Potret sepasang insan saling mencinta sedang menimang jiwa surga kini tinggal kenangan. Selamat menempuh hidup baru, Rayi Sutan. Semoga bahagia membersamaimu. Selalu. Selamanya. Aamiin

Jumat, 31 Agustus 2018

Homeopati SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang