Suatu petang, menjelang waktu Magrib saya yang ada janji temu dengan seorang pejabat terjebak hujan di sebuah kantor pemerintahan. Kami bertiga waktu itu. Saya dan dua orang teman laki-laki. Sambil menunggu hujan reda, saya dan seorang teman memilih menyeduh minuman hangat. Dia kopi dan saya teh. Sementara seorang teman lain membereskan berkas.
Gula belum diaduk ketika azan Magrib berkumandang dari mushola kantor. Mushola kecil yang asri. Berdiri di tengah danau buatan dengan aneka ikan berenang dan bunga bermacam warna. Saya suka ke sana. Sesekali menumpang sholat jika memang bertepatan waktu istirahat saat mampir ke kantor ini.
Teman saya yang sedang menyeduh kopi menyelutuk, "Lo sholat?"
"Iya sholat, abis minum teh."
"Gue nggak deh," ucapnya seraya mengambil duduk di sofa. Saya diam. Tidak mau menghakimi urusan dan keputusan orang. "Lo tau sendiri gue nggak taat-taat amat."
"Gue sih sholat bukan urusan udah taat amat apa nggak, tapi ya karena gue sadar masih banyak impian yang harus diperjuangkan dan didoakan."
"Termasuk ketemuan ini dan impian lo yang 'milyaran' itu ya?" tanyanya selepas menyesap kopi.
Saya mengangguk. "Impian yang selain diperjuangkan juga kudu didoakan. Apalagi sekarang orang ketemu gue sering lupa nanya kabar, keburu nyamber 'Loh belum juga? Jadi kapan?' seolah-olah gue sama Cakra nggak usaha apa-apa."
Wajah teman saya tampak menimbang. Saya biarkan dia dalam lamunan hingga azan Magrib selesai dikumandangkan. Tidak lama kemudian datang teman yang tadi sibuk merapikan berkas.
"Ajudan Bapak telepon, katanya Bapak sudah sampai rumah. Sekarang lagi mau sholat. Ba'da Magrib lo pada ke sana deh. Udah gue konfirmasi, bisa ketemu katanya."
Saya mengangguk lega. Setelah janjian tidak kunjung ada kejelasan sedari siang, ternyata Tuhan memberi kemudahan kemudian. Selepas sholat di mushola, kami bergerak menuju rumah sang pejabat. Membicarakan sebuah project. Tidak tanggung-tanggung, tanpa saya pinta Sang Pejabat bahkan menawarkan hal yang lebih besar. Tuhan memang Maha Baik. Padahal sebagai hamba saya masih harus banyak berbenah diri.
"Lo tuh kalau emang kenal dekat kenapa pake protokoler deh. Tinggal samperin langsung kan bisa," celutuk teman saya sekeluarnya kami dari rumah pejabat tadi.
"Deket apaan dah. Gue mah rakyat biasa juga."
"Tapi beliau seramah itu tadi. Ampe kaget gue, beda sama di kantor. Mustahil aja nggak ada koneksi orang dalem. Minimal atasannya."
"Gue deketin yang ngasih beliau napas," seloroh saya. "Itu lebih Atasan Tertinggi beliau kan?"
Tiba-tiba terkenang ucapan Ayah saya bertahun silam. Waktu itu beliau sedang dinas ke Jepang. Dini hari masuk WA. Potongan ayat Qur'an. Seingat saya surah Yusuf. Bunyinya kurang lebih begini :
Maka Allah adalah penjaga terbaik dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.
Pada bagian bawah Ayah menyisipkan sebuah kalimat kecil. Jadi untuk apa khawatir?
Saya lupa dalam konteks apa Ayah mengirimkan itu. Semasa masih kuliah dulu Ayah memang sering membangunkan saya dini hari. Mengingatkan untuk sholat sunnah dan berdoa. Di mana pun beliau berada. Bahkan ketika kami mengalami perbedaan zona waktu. Termasuk ketika memilih Mas Cakra. Ayah ikut turun tangan meyakinkan saya.
Mas Cakra pada beberapa sisi memang menyerupai karakter Ayah. Dia jauh lebih tenang daripada saya. Tidak terkecuali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang belakangan intensitas munculnya seakan tanpa libur dan susah kabur. Sekali waktu sampai bikin merah telinga itu.
***
"Ingat nggak kamu waktu SD dulu tiap Subuh sama Magrib pasti semangat banget ke mushola komplek?"
"Inget nggak, Yah, kejadian Adik tengah malam bangun terus buru-buru pasang baju buat ngaji karena ngira telat berangkat. Padahal sorenya udah ngaji. Saking semangatnya khatam Qur'an." Ibu menimpali.
Hati saya rasanya mencelus. Tiba-tiba sebuah tanya mencetus, kapan terakhir kali saya ibadah dengan riang bukan sekadar merasa kewajiban dan ada permintaan? Rasanya sudah lama sekali. Bahkan bisa jadi saya lebih taat waktu kecil dibanding sekarang :)
Tapi pelan-pelan, saya mencoba berbenah lagi. Semoga lebih baik daripada hari ini. Mengisi yang kosong. Mengingat yang lalai. Memperbanyak yang ada. Mensyukuri sebelum meminta.
Pulang ke rumah orangtua sering memberi cerita tersendiri. Bahkan tidak jarang bertemu jawab atas tanya yang tidak sengaja ada atau memang kita ciptakan.
Terima kasih Ayah dan Ibu, untuk doa yang senantiasa mengalir untuk kami. Semoga sehat selalu untuk membimbing kami seperti anak-anak yang sedang belajar berjalan, seperti anak yang baru belajar mengayuh sepeda di jalan kehidupan.
---
686 - 21 - 01 - 19 - 19.19
KAMU SEDANG MEMBACA
Homeopati Senja
RandomApa yang ada di dekat kita bisa menjadi penawar sekaligus racun bila keliru menggunakannya. Homeopati; pertolongan pertama dari yang ada di sekitarmu.