Baik-baik Sayang

379 30 14
                                    

Desember setahun silam, saat doa melangit dari berbagai rumah Tuhan mengiringi perjuangan sepasang insan. Terbaca kegetiran, walau samar oleh kebahagiaan. Ada cinta dan kasih sayang yang terpancar pada tatapan mata keduanya. Demikian tulus, demikian luhur. Tak terbersit dusta meski sesekali nelangsa.

Menyaksikan genggaman sepasang insan ini membuat saya ikut menanam setandan harap di pekarangan, kelak perempuan dari tanah Timur dengan sepasang mata sehangat tanah inilah yang menaiki tangga demi tangga rumah Gadang, berhias sunting keemasan, menghantar sang lelaki meraih gelar Sutan selepas menjabat tangan ayahanda pihak perempuan.

Namun, kiranya harap tak selalu bersanding kenyataan. Bahtera karam sebelum layar sempat terkembang. Ombak dan lautan tak sudi berdamai hingga tepian. Hujan yang tidak kunjung reda menjadi alasan untuk saling melepaskan. Pupus doa di bulan ke tiga puluh enam.

Kelak di hari sekian waktu ke depan, barangkali jari-jemari sang perempuan tetap akan berhias inai berwarna kemerahan, tetapi bukan rumah Gadang yang akan ia pijak, bukan Sutan yang nanti berijab. Telah layu daun di pekarangan tanpa sempat kami tumbuk menjadi inai untuk ia kenakan di malam menjelang janji bersetia hingga maut memisah terucap.

Sekuat apa pun meneguhkan perasaan, saya sadari semua tak lagi serupa dengan dahulu. Ada tembok yang menjulang, membatas kini dan silam, melalai segala kebaikan dan kebahagiaan. Orang sekarang ringan betul berujar sembari tertawa, seindah bagaimana jua masa dahulu, tetap saja manusia tidak hidup di zaman lalu. Saya paham, saya tahu. Tetapi tetap saja perlu waktu. Segalanya terkesan tiba-tiba, meski mungkin rahasia sudah bercerita.

20 Oktober 2016

Homeopati SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang