Sebuah Kisah Tentang Melepaskan

530 46 4
                                    

Lebih dari separuh penanggalan pada tahun ini telah kita lalui, Nak. Lusa umat Islam akan kembali mengingat cerita tentang keikhlasan melepas yang dicinta melalui kurban. Nun jauh dari kali pertama kita pijak bumi, pernah ada cerita yang amat menyentuh hingga diriwayatkan sepanjang zaman. Hari itu, Nak, seorang ayah dengan ikhlas (yang sejujurnya bisa jadi ingin ia tawar andai bukan perintah Tuhan) hampir menghunuskan pedang ke leher sang putra yang teramat ia cinta.

Ayahnya itu adalah tauladan yang pernah berkelana demi menuntaskan rasa penasaran tentang keberadaan Allah Subhana Wa Ta'ala, sedang putranya ialah pemancar mata air yang kesegarannya hingga ke relung hatimu -air zamzam- setelah sang bunda berlari dari bukit Safa dan Marwa.

Nak, kasih sayang di antara mereka sungguh pelik. Demi meredam cemburu Sarah -sebagai istri pertama-, Ibrahim mesti rela melepas Ismail dan Hajar -istri kedua- di gurun tandus nan gersang. Lalu ketika kemudian mereka kembali dipersatukan Tuhan, datang perintah mengurbankan perasaan dengan melepas yang dicinta. Tiada pilihan terhadap ketentuan yang telah digariskan. Di sinilah ikhlas menampakkan berkahnya, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba.

Bermil masa sebelum itu, pernah pula tercatat kisah cinta yang penuh haru. Cinta sepasang manusia pertama di bumi, muasal hadir kita seluruhnya. Kala itu, Nak, seorang lelaki dicipta Tuhan dalam belantara kenikmatan bernama surga usai perdebatan dengan malaikat-Nya. Allah memuliakan ia hingga yang menjunjung Arsy pun bersujud terhadapnya, kecuali yang tercipta dari api dan menjadi penggoda umat manusia sepanjang peradaban. Oleh kasih sayang Allah Subhana Wa Ta'ala, sepinya sang manusia pertama ditebus dengan penciptaan wanita dari ruas rusuknya.

Singkat cerita, Anakku, buah khuldi dengan bujuk rayu makhluk yang dilaknat Allah berhasil mengeluarkan keduanya dari surga. Perlu waktu puluhan tahun hingga kemudian Allah kembali mempertemukan mereka di gunung cinta. Sekiranya kesabaran telah pupus, bisa jadi tiada usaha yang menuntun mereka agar bisa kembali bersama hingga Allah tergetar lalu menuntun keduanya.

Nak, sejujurnya aku bukanlah orang yang pandai merangkai nasihat, terlebih menerka isi hati manusia. Sebab, Nak, kedalaman lautan ada alat pengukurnya, telah tercantum kepastian satuannya, tetapi perasaan adalah rahasia yang begitu panjang untuk dibentangkan. Walau demikian, Nak, izinkan aku merawi kisah-kisah lama perihal keikhlasan dan cinta.

Teramat banyak jenis perasaan yang ada di relung dada manusia, Anakku. Dua di antaranya senantiasa bertaut seperti mata rantai, bilamana ada cinta maka kemungkinan besar pula keikhlasan mendampinginya. Pada bagian ini, ada unit yang menjadi penengahnya yakni kesetiaan.

Di masa yang jauh melampaui usiamu, pernah tercantum kisah cinta yang menggugah banyak manusia. Kisah itu milik Sayyidina Ali bin Abi Thalib kepada teman duduk Nabi Muhammad di surga, Fatimah Azzahra.

Ali sungguh mencintai Fatimah dengan cara yang luhur, Nak. Tiada pernah terlontar kecuali melalui doa kepada Tuhannya. Tak ada keberanian menyatakan perasaan sebab ia sadar dayanya masih belum mempuni. Sepanjang cinta tak kasat mata itu, Ali bukan tak menuai ujian kesabaran. Ia pernah harus merelakan Fatimah hampir disanding karibnya sendiri, Umar dan Abu Bakar.

Nak, bila kehilangan baju idaman yang pernah kamu lihat di etalase sedemikian pedihnya, maka kupikir engkau dapat menerka seberapa pedih yang dirasakan oleh seseorang yang mencintai dalam doa lalu direnggut karib yang telah ia anggap saudara.

Hingga takdir memihak, Rasulullah menerima pinangan Ali yang sederhana walau hanya dengan sebuah baju besi, harta satu-satunya yang ia punya. Sungguh, diamnya Ali bukan pertanda tak cinta, melainkan ia paham bagaimana cara mencintai dengan istimewa. Ali lebih dulu meminang perempuannya melalui Allah Subahana Wa Ta'ala.

Nak, mari sedikit kubagikan bagaimana Ali mencintai Fatimah Azzahra. Di malam pertama mereka bersama seusai ijab dan qobul terucap, Ali sempat "merajuk" sebagai bentuk ujuk rasa cemburu usai Fatimah Azzahra mengakui pernah mencintai seorang pria sebelum Ali menikahinya. Kelak, engkau akan paham, Nak, bahwa cemburu sebagian lain dari cinta terhadap pasangan kita.

Fatimah mengulum senyum demi melihat tingkah Ali itu. Hingga kemudian, wajah masam berubah semu manakala Ali tahu bahwa yang dimaksud Fatimah adalah dirinya, Ali bin Abi Thalib sendiri.

Maka, Nak, demikianlah cerita yang mampu kubagikan kepadamu dalam keterbatasan ilmuku. Sungguh, Nak, dinyatakan atau tidak, cinta tetaplah cinta sebab pernyataan tak selalu dengan kata. Adakala perasaan itu nyata, hanya saja mata dan telinga kita amat terbatas untuk mengetauinya.

Karena sebagian orang ingin menjaga keistimewaan perasaan dengan rahasia. Tak perlu engkau menguak bila belum waktunya. Sejujurnya, Nak, bunga kuncup yang dipaksa mekar hanya akan menghancurkan kelopaknya, memupuskan keindahan yang semestinya bisa kita saksikan selepas kesabaran.

Nak, kurang dari empat puluh delapan jam setelah tulisan ini kuselesaikan, kita akan kembali belajar tentang keikhlasan melepaskan yang dicintai. Dalam hidup, sebenarnya kurban bukan hanya satu tahun sekali jika kita maknai melalui sudut pandang berbeda.

Aku tahu engkau bukan Ibrahim, Adam, ataupun Ali yang bermil-mil tahun lalu pernah meneladankan cinta dan keikhlasan yang begitu indah. Namun, Nak, tiada salahnya kamu memahami hakikat melepas dan ikhlas.

Catatan ini bisa jadi tak sempat engkau baca, tidak pula engkau tahu keberadaannya. Meski begitu, harapku melangit kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga Allah meniupkan keikhlasan ke dalam dadamu yang penuh kelapangan untuk memaafkan, menyusupkan kesabaran tanpa tepi, juga mengganti dengan sebaik-baik ganti apa yang mesti engkau lepaskan. Karena, Nak, hanya seperti itulah luka mendapat penawarnya.

Bilamana kelak di kemudian hari, apa yang telah engkau lepas datang kembali maka terimalah ia dengan pelukan paling hangat sebagaimana Adam menyambut Hawa. Andaipun ia sudah memilih, maka lepaskan seperti Ibrahim mengikhlaskan Ismail. Karena dengan begitu baru akan engkau temukan ganti. Namun, jauh dari segala kemungkinan itu, aku masih merapal harap engkau bisa sesabar Ali bin Abi Thalib meski sempat terluka sebab Fatimah dipinang sahabatmu sendiri. Walau kutahu benar, kalian berada pada dimensi waktu yang jauh berbeda.

Tertanda,
Perempuan Senja
10/09/16

Homeopati SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang