Selintas Kisah Lalu

601 55 38
                                    

Dik, barang kali, tak sempat kau baca tulisan ini sekarang. Tak apa. Barang kali, tak kau ketahui pula keberadaannya. Kali ini, agak mengkhawatirkan bagi saya. Semoga kelak hari, entah kapan pun itu, ada yang menyarankanmu untuk membaca tulisan ini. Saya harap, ketika waktu itu tiba, belum terlambat kiranya.

Dik, panjang betul perenungan saya tentangmu. Namun, nun jauh ke belakang, sebagai mana tulisan saya pada lebaran Idul Adha tahun lalu, saya memang benar-benar belajar melepaskan. Bukan hanya kamu, tetapi tentang kalian berdua.

Sejauh tulisan ini saya buat, saya memang tidak lagi mengikuti pemberitaan di luar sana. Hanya sesekali, selebihnya saya berusaha abai, sebagaimana yang pernah engkau pinta. Tapi, Dik, nyatanya cinta, diredam sekuat tenaga, ada kalanya bertunas lagi juga. Demikian kiranya perumpamaan saya.

Kemarin sore, pertanyaan yang bercokol di hati saya selama berbulan-bulan akhirnya terjawab juga. Pahit sekali rasanya, Sayang. Sungguh, kurma pun belum sanggup menawarnya hingga kini.

Dik, sungguh pun begitu, tak terbersit di hati saya untuk membencimu. Sedikitpun. Tidak, Dik. Bagi saya, segala sesuatu ada alasannya, terlepas orang tahu atau tidak. Malangnya saya tahu sebagian alasan itu, sehingga jahat betul kalau sampai mempersalahkan keputusanmu.

Namun, Dik, cinta saya kepada kalian berdua bukanlah semacam kuda dipakaikan kaca mata. Lurus. Mulus. Tidak begitu. Bagi saya, cinta semacam lokomotif, diarahkan, dibina, dibimbing kalau keliru, bukan dibenarkan sebagaimana yang dilakukan sebagian orang terhadap yang dicintainya. Maka, Dik, atas dasar cinta itu, saya merasa perlu menulis ini untukmu. Terlepas saya tahu, kedalaman hati manusia tidak dapat diselam oleh siapa-siapa terkecuali dia dan Tuhan saja. Meski demikian, izinkan saya membagi secercah pandangan barangkali bisa engkau pertimbangkan.

Dik, petang kemarin, semestinya saya tidak kaget. Memang benar tidak kaget. Saya hanya bisa tersenyum tipis. Itupun berat sekali rasanya, Dik, membuat ujung bibir melengkung ke pipi. Pertanyaan saya terjawab. Kau benar-benar sempat menjalin hati dengan seorang yang menurutmu saat itu tepat.

Saya paham, Dik, bagi orang yang luka, penyembuhlah yang perlu. Naas, penawar yang kau ambil agaknya keliru. Kau ingin lekas luka itu sembuh. Pahitnya, tidak begitu. Luka lamamu kian kekal. Saya tahu. Tapi tidak akan menyalahkanmu. Kejadian itu telah berlalu. Tak pantas kalau saya buka-buka. Biarlah itu menjadi rahasiamu dan dia. Semoga jadi pelajaran agar kelak tidak lagi menjalin hati dengan lelaki yang menjanjikan memperlakukanmu bagai permaisuri, padahal di belakang, ada perempuan-perempuan lain yang ia lepaskan tanggung jawabnya.

Sungguh, Dik, lelaki yang baik bukan yang menjanjikan tidak mengulangi kesalahannya kepadamu, melainkan yang mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada siapa ia berulah dahulu.

Lalu, Dik, banyak yang menghujatmu, tanpa mereka tahu kisah di balik lukamu. Kata sebagian orang begitu. Dik, mendekatlah, biar saya peluk engkau. Kalimat saya setelah ini barangkali akan pahit sekali. Sulit engkau terima. Tapi semoga ada hikmahnya.

Dik, keterbatasan manusia adalah tidak dibekali kemampuan membaca rahasia. Kalaupun ada, hanya sebagian saja. Maka orang-orang yang menghujatmu tentu tidak termasuk pada golongan yang bisa itu. Alangkah elok, Dik, engkau jaga bahasa tubuhmu. Tidak semua mampu membaca maksudnya dengan pandangan baik-baik saja. Bisa jadi, yang engkau maksud bercanda, mereka terka betulan.

Dik, saya tahu kamu baik, baik sekali. Tidak sampai hati saya doakan engkau kembali ke pelukan yang lama, sekiranya luka itu benar-benar dia yang buat. Tapi, Dik, jahat betul saya jika menganggap ia buruk perangai, sedang yang sekarang engkau bersamai juga tidak terlalu saya kenal.

Meski begitu, Dik, masih lekat dalam ingatan saya ceritamu satu atau dua tahun lalu tentang ia yang kini di sisimu. Saat itu engkau sedang merajuk. Lalu sosok ini datang mencari celah. Tapi tak kau buka pintu hati untuknya dengan alasan keimanannya kepada Tuhan tidak sebaik lelaki dahulu yang mengikatkan tali sepatu seperti yang ayahmu lakukan kepadamu. Saya tertawa ketika itu. Cinta memang lucu. Kamu merajuk, tapi tetap memuji dia. Itu terjadi ketika kerikil bagi kalian tidak berarti apa-apa selama dihadapi berdua.

Homeopati SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang