33. See Eye to Eye

13 2 0
                                    

"Terus, saya harus gimana sekarang, Pak?" Pak Bos benar-benar membuatku bingung.

Ibunya Pak Bos melarangku ada di Gangnam Resto lagi. Tentu aku menurut karena nggak mau pindah ke penjara. Tapi, kenapa sekarang Pak Bos menghancurkan surat pemecatanku? Ini artinya aku masih menjadi karyawan Gangnam Resto, kan? Gimana caranya aku bekerja tanpa datang ke Gangnam?

Pak Bos menaikkan dua alisnya tinggi-tinggi. "Tugas kamu cuma menuruti perintah saya sebagai bos, Viona." Ketegasan kembali terpancar dari mata kecil Pak Bos.

"Tapi, ... ibunya Pak Bos minta saya nggak datang ke Gangnam lagi. Saya takut masuk penjara, Pak." Akhirnya, aku menceritakan ketakutanku juga. Aku nggak bisa menutupi peran ibunya Pak Bos lagi.

"Saya tahu." Pak Bos masih memandangku. "Karena itu, saya minta maaf atas sikap mama saya, Viona." Suara Pak Bos jadi lebih rendah.

Aku nggak tahu harus mengatakan apa. Pikiranku kusut. Masalah ini belum selesai, tapi aku sudah harus memikirkan hal rumit lagi.

"Saya mau kamu nggak tinggal di Gangnam lagi. Saya nggak menyangka kalau tempat itu terlalu berbahaya buat kamu, Viona. Maafkan saya yang membuat hidup kamu jadi menakutkan seperti ini." Pak Bok mengatakannya dengan perlahan dan terasa menyedihkan.

Baru kali ini, aku mendengar Pak Bos seperti sedang ketakutan. Nggak ada teriakan penuh makian. Pak Bos sedang dalam kondisi paling menyedihkan yang pernah kulihat.

"Pak Bos nggak salah apa-apa. Saya yang salah." Aku nggak mau menerima permintaan maaf Pak Bos karena cuma membuatku semakin terluka.

Pak Bos menggeleng. "Sejak saya membawa kamu ke restoran, harusnya saya bertanggung jawab atas keselamatan kamu. Tapi, kamu justru mengalami banyak tragedi di sana. Semua salah saya yang nggak pernah peduli dengan kamu, Viona."

Aku mengibaskan tangan cepat. "Nggak, kok. Pak Bos udah baik banget. Buktinya, Pak Bos udah ngasih kerjaan, tempat tinggal, bahkan ngobatin luka saya juga. Pak Bos udah jadi bos terbaik!" Sengaja kuacungkan dua jempolku tinggi-tinggi untuk menunjang pujianku, lengkap beserta senyum terbaik yang sanggup kupamerkan.

Pak Bos tersenyum sambil mengalihkan pandangan. Setelah memencet hidung, Pak Bos kembali berbicara, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah saya saja, Viona."

Aku mengerjap cepat. "Rumah ... Pak Bos?" Aku mengulang kata-kata Pak Bos yang seperti sebuah kesalahan besar lainnya.

Pak Bos mengangguk. "Nggak ada bantahan." Pak Bos mengambil hp dari saku celana, lalu melakukan panggilan. "Mir, ajakin Teja ke minimarket seberang Gangnam. Cepetan, ya. Bawa motor satu aja."

Aku masih berusaha mencerna kejadian barusan saat Pak Bos pamit membeli minuman. Aku memang nggak bisa memilih. Tapi, bukan berarti aku harus tinggal di rumah Pak Bos. Di sana ada istri dan anaknya. Nggak mungkin aku berada di sekitar mereka saat berita-berita salah ini masih banyak yang membicarakan.

"Vio," panggil Amir yang baru saja datang bersama Pak Teja. "Mana Pak Yudis?" Dia berjalan mendekat, sedangkan Pak Teja memarkir motor.

Aku menunjuk ke dalam. Pak Bos sedang mengantre di kasir dengan tiga botol kopi di tangan.

"Neng Vio nggak apa-apa?" tanya Pak Teja sambil memandangku khawatir saat sudah berdiri di samping Amir. "Maaf, ya. Bapak tadi nggak bisa bantuin. Bapak takut sama Bu Lasmi."

Aku tersenyum pada Pak Teja. Sebagai keamanan, tugas Pak Teja membuat resto tetap terjaga keamanan dan ketenangannya. Tapi hari ini, ibunya Pak Bos membuat keributan dengan mengusirku. "Nggak apa, Pak. Udah kejadian."

Sebelum Pak Teja berbicara lagi, Pak Bos sudah datang. Dua botol kopi Pak Bos berikan pada Amir dan Pak Teja. "Mir, bawa motor Viona ke resto, masukin ke lorong aja sebelum kamu pulang. Viona pulang sama saya." Pak Bos berpaling ke arahku sambil membuka kopi terakhirnya. "Kuncinya kasih ke Amir, Viona."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 15 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sugar Baby Wanna BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang