"Shh..." ringis seorang lelaki yang baru saja tiba di rumah dalam keadaan mengenaskan.
Dahinya luka, kakinya penuh memar, dan hidungnya masih terus mengeluarkan darah. Berkali-kali ia menyekanya dengan punggung tangan, tapi darah itu tak juga berhenti.
Begitu masuk ke kamarnya, ia langsung melempar tas yang sejak tadi ditentengnya ke atas ranjang dengan kasar.
"Dasar pengecut!!" serunya penuh amarah.
Ia duduk di tepi ranjang dengan hati-hati. Luka dan memar di tubuhnya membuat setiap gerakan terasa nyeri, terutama di bagian kaki dan perutnya.
Langkah seseorang mendekat. Lelaki itu tidak perlu menoleh—ia sudah tahu siapa yang datang.
Siapa lagi kalau bukan kakak perempuannya?
"Lo dibully lagi?" tanya kakaknya dengan nada datar.
Ia diam.
"Gyu, kenapa lo cuma diem terus kalau dibully?! Pindah sekolah aja!" ujar kakaknya dengan tegas, suaranya sedikit meninggi. Kekesalan dan kepeduliannya bercampur menjadi satu. Beomgyu Gridrea Jenggala, adik satu-satunya, hanya menatapnya dengan malas.
"Udah gue bilang berkali-kali, gue gak mau pindah." jawabnya dingin.
Hanasta terdiam, menatap adiknya dengan ekspresi penuh rasa bersalah. Dalam hatinya, ia merasa gagal sebagai kakak.
"Maaf... Maaf ini semua gara-gara gue. Coba aja gue bisa cari kerjaan yang lebih bagus, pasti gak bakal kayak gini..." ucapnya lirih. Matanya mulai berair. Ia tidak tega melihat adiknya terus-menerus menjadi korban kekerasan di sekolah.
"Udah, Kak. Gak usah nangis," tutur Beomgyu, menunduk.
Melihat Hanasta menyalahkan dirinya sendiri terasa lebih menyakitkan dibanding semua pukulan yang ia terima di sekolah. Ini bukan salah kakaknya. Semua ini terjadi karena dirinya sendiri—karena ia tidak melawan sejak awal.
Sekarang, saat ia ingin melawan, keberanian itu sudah tidak ada. Pernah ia mencoba, tapi justru membuatnya semakin disiksa. Melaporkan ke guru pun tak ada gunanya—gurunya hanya diam. Entah tidak peduli, pura-pura tidak tahu, atau sengaja menutup mata.
Yang lebih parah, ia malah disuruh berhenti sekolah oleh pihak sekolah jika tidak mau dibully.
Gila, bukan?
Iya, memang gila.
Beomgyu adalah murid beasiswa, siswa terpintar di sekolahnya. Ia sering meraih peringkat pertama di tingkat paralel. Sebenarnya, ia ingin berhenti sekolah di sana, tapi sayang sekali... Mendapatkan beasiswa tidaklah mudah.
Beomgyu Gridrea Jenggala dan Hanasta Herta Jenggala—dua saudara yang sudah kehilangan kedua orang tua mereka. Meski begitu, mereka masih bisa bertahan berkat warisan yang ditinggalkan, meskipun jumlahnya tidak banyak. Hanasta tetap harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua.
"Gue mending gak usah pergi kali ya?" gumam Hanasta ragu.
Beomgyu langsung menoleh. "Lah, kenapa?" tanyanya sambil mengangkat satu alis.
"Gue gak tenang ninggalin lo sendiri. Lo pasti butuh temen, kan? Gue gak tenang..." ujar Hanasta lirih, menatap adiknya dengan cemas.
Beomgyu terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil—berusaha meyakinkan kakaknya bahwa ia baik-baik saja.
"Enggak kok, Kak. Gue baik-baik aja. Lo gak usah khawatirin gue. Gue itu cowok. Gue gak ngelawan mereka, bukan berarti gue lemah!"
Hanasta tersenyum tipis. Ia berjalan mendekati Beomgyu, membawa kotak P3K di tangannya.
Tanpa berkata-kata, ia berlutut di depan Beomgyu yang masih duduk di tepi ranjang, lalu membuka kotak itu dan mulai mencari obat yang dibutuhkan.
"Bener ya? Kalau ada apa-apa, bilang ke gue." ucap Hanasta tanpa menatap adiknya, masih fokus mencari obat.
"Iya, kakak cantiknya gue. Tenang aja!"
- TBC -
jangan lupa vote dan komen!
❤️❤️❤️562 word

KAMU SEDANG MEMBACA
NOT A DOLL || Taegyu ✅
Roman pour Adolescentsmenjadi bahan buli itu tidak mengenakan, rasanya sangat membutuhkan pertolongan dari siapapun. namun bagaimana jika, orang satu-satunya yang mau menolong kita, adalah orang yang sangat ingin kita hindari? yeah.. ini lah yang terjadi dikehidupan Beom...