"Kenapa kau masih saja mencoba?"
Aku merasakan rasa sakit dan suara yang menggema mengiringi rasa sakit itu. Suatu tempat di tubuhku sakit, tapi aku tidak bisa melihatnya. Semuanya tertutup kegelapan dengan hanya ada aku sendiri di tengah kegelapan ini.
Kemudian rasa sakit itu kembali.
"Kau tahu hasilnya sia-sia saja."
Tidak, benakku memberontak. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Semuanya memiliki arti. Semuanya memiliki tujuan.
"Benarkah? Termasuk kepercayaanmu?"
Rasa sakit itu menghantamku lagi sampai aku kelimpungan dan pusing sendiri. Kali ini tidak hanya rasa sakit dari luar, tapi juga dari dalam, menyobek ingatan dan tubuhku dalam saat yang bersamaan. Memori-memori lama menjeratku, memaksaku mengingat semua hal yang terjadi, mulai dari yang paling baru. Saat-saat pengkhianatan Nagini dan orang-orang dari masa lalu pun kembali menghantam memoriku.
Saat aku kehilangan Azka dan Irsyad.
Saat aku harus menghadapi kenyataan Kala terlahir cacat karena serangan Yaksha.
Saat kami diusir dari kota ke kota, bersembunyi di liang, ketahuan, dan diserang para Yaksha kelaparan.
Ini tidak normal, sisa-sisa benakku yang masih bisa bergerak dan berpikir, menyimpulkan. Untuk kejadian baru, aku tidak menyalahkannya. Mereka baru saja terjadi. Masih segar dalam ingatanku. Tapi kejadian lama, mereka yang telah lama berlalu dan tidak lagi kembali, biasanya mereka duduk diam di sudut ingatanku, tidak pernah terpanggil kecuali aku berada dalam kesendirian.
Kalau begitu, seseorang ... atau sesuatu telah mendorongnya ke permukaan.
Tapi apa yang tepatnya mendorong memori itu ke permukaan, aku tidak tahu. Benakku tidak bisa mencari tahu. Semua jalan pikiran yang menjadi jalan keluar dari labirin ini terputur. Alih-alih, aku malah terfokus pada kenangan-kenangan tidak penting itu. Mereka seperti mengelilingi dan memerangkapku. Rasanya kepalaku seperti dipaksa menghadap sebuah layar yang menyala dan ada film di sana yang terpampang, menampilkan semua masa laluku dalam silus berulang tiada akhir. Memaksaku mengingat kembali pada kenaifanku yang menghancurkan segalanya.
"Kau tahu kau tidak bisa memercayainya sejak awal. Kau berniat untuk lari setelah memanfaatkannya, kan?"
Aku diam. Tidak ada mulut untuk membantah. Tidak ada kuasa untuk melawan.
"Kenapa kau tidak membunuhnya?"
"Kenapa kau malah berniat untuk lari?"
Aku merasakan sesuatu menggenggam jantungku, membungkusnya dengan tekanan yang menghancurkan. Degup jantungku melompat ke arah yang tidak teratur dan cepat.
Tidak, ini bukan memori. Ini bukan halusinasi.
Ini Maladies.
"Kau tahu perlawananmu sia-sia, kan?"
Seseorang menyentuh dan menyentakkan kepalaku. Sepasang tangan putih pucat berpendar dengan lima cakar tajam mencengkam wajahku. Mataku dibukanya, dihadapkan pada sosok yang seketika membuat mataku membelalak.
Sosok diriku sendiri.
Dalam balutan sinar putih berpendar, berpakaian gaun terusan pendek putih yang bersih, dan kulit mulus putih bersih. Tidak kumal, tidak kusam, tidak pula berlumuran darah dan tanah.
"Kenapa kau masih belum mau menerimaku? Bukankah aku cantik? Kuat? Aku lebih segala-galanya dari dirimu. Menerimaku akan membuatmu lolos dari rasa sakit ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Maladies-UNEDITED 1ST DRAFT
Fantasy[TWISTED FOLKLORE] - "Semua hal di dunia ini jadi beracun untuk kita sekarang. Seolah dunia ini mengusir kita." Setelah kehilangan putra dan suaminya, Dayuh memutuskan untuk berkelana ke Permukaan bumi yang beracun demi mencari putra b...