20. Secrets That No One Knows

7 7 3
                                    

Aku belum pernah membenci petak umpet separah ini.

"Manusia...." Yaksha di belakang bersuara seperti pemangsa. Aku bersembunyi, menahan napas. "Di mana kau....?"

Padahal aku sudah susah payah keluar dari kandang busuk itu sembunyi-sembunyi. Tanpa membuat suara sama sekali. Aku menahan mual yang seketika muncul ketika aku mengingat rambut-rambut dan kulit yang masih menempel di tali temali tempatku ditahan.

Kukira penjara kota Wisesa itu sudah buruk. Penjara di kota ini jauh lebih buruk lagi ternyata. Aku mendongak, melihat puluhan kepala manusia digantung bagai hiasan, berkelompok lima-lima. Mereka sudah kering, tapi yang masih tercium aroma bangkainya pun masih ada. Aku mengernyit mual lagi.

Tapi sementara aku mual di bawah sini, manusia-manusia di kandang di atas sana tampaknya tidak begitu peduli pada pemandangan menyedihkan yang tertera di depan mata. Mereka lebih memilih megikuti arah lariku, terus memantauku dan memberitahu lokasiku kepada Yaksha terdekat yang bisa melihat.

"Dayu...." Sebuah suara muncul di kepalaku. Suara itu lagi! Suara yang menghantui mimpi-mimpiku! Suara aneh yang bergema dalam kepalaku! "Sampai berapa kali lagi kau perlu diingatkan oleh pengkhianatan kalau musuhmu sekarang bukan hanya Yaksha?"

Suara ini nyata. Dia ada di saat aku terjaga!

Tiba-tiba lenganku berdenyut sakit. Aku menggigit bibir untuk menahan rasa sakitnya.

"Tentu saja aku ada." Suara itu berkata lagi di dalam kepalaku. "Aku senyata para Yaksha yang ada di sisimu."

Tersentak, aku pun menoleh ke samping. Suara-suara di sekelilingku berubah riuh rendah oleh tepuk tangand an kesenangan yang beracun. Aku sendiri terpaku di tengah keriuhan itu, membeku ketakutan di depan Yaksha bertanduk yang sepasang matanya tengah menatap lurus ke arahku. Selaput di dalam matanya berkedip.

"Ketemu...."

***

Kali ini aku tidak akan semudah itu ditemukan!

Aku meraba-raba di dalam gelap, mencoba mengingat letak rumah ini sebelumnya. Berharap tidak ada barang-barang yang dipindahkan oleh Suvia atau Rakyan. Dan memang tidak. Aku meraba sebuah duvet batu yang ada di pojok kiri. Aku segera duduk dan bersembunyi di sana.

Tepat ketika sesuatu pecah di dekatku. Para Yaksha mendengar suara ini dan segera berderap. Suara langkah mereka terdengar jelas. Lantai bergetar. Mereka datang ke arah sini.

Suara kikik tawa mengiringi bunyi pecahan itu. Suara tawa yang familier.

"Semoga beruntung." Suara Suvia terdengar mengalun di telingaku.

Aku menggertakkan gigi dan memaki dalam hati. TIdak hanya sendirian, penghuni di rumah ini juga tidak peduli, bahkan mendukung jika aku tertangkap lagi.

TIdak, itu tidak akan terjadi. Aku akan mendapatkan info soal putraku di kota ini. Apa pun yang terjadi.

Aku segera berlari sembari menggunakan kedua tangan untuk meraba-raba sekitar, mencoba mencari penghalang apa pun yang mungkin menghalangi. Untungnya tidak ada. Aku tersenyum dan bernapas lega ketika embusan angin masuk. Tidak beraroma manis ataupun debu. Tidak beraroma darah. Artinya ada ventilasi.

Dan kemungkinan jalan keluar.

Aku segera menyongsong jalan keluar itu tanpa pikir panjang, tidak menduga sesuatu menyandung ibu jari kakiku. Tersandung, wajahku pun membentur lantai. Suara debuk pelan itu membuat suara Yaksha mendekat. Tidak merasa punya waktu untuk meresapi rasa sakit atau membiarkannya reda, aku pun bangkit berdiri lagi.

Namun terlambat.

Sebuah tangan bercakar sudah lebih dulu meraih tanganku. Tangan itu panas membakar tanganku.

Maladies-UNEDITED 1ST DRAFTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang