Pertama kalinya aku melihat kota Yaksha adalah ketika aku terbebas dari Yaksha bersayap itu.
Baru saja menghirup angin kebebasan—yang omong-omong, tidak semanis atau sesegar yang dikatakan orang-orang—aku harus bersembunyi dan menyamarkan aroma darah manusia yang menguar dari tubuhku: aroma yang sangat dikenali oleh para Yaksha. Dan di tengah usaha menyembunyikan diri itu, aku malah aku menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan lagi di luar gua tempat Yaksha itu menyergapku.
Sebuah pemukiman besar.
"Ini pertama kalinya kau melihat kota Yaksha?" Seseorang di sebelahku bertanya dan aku mengangguk.
Aku terkejut mendengar nama yang sama dari mulut Tobi. "Kau juga tahu mereka Yaksha?"
"Mereka sendiri yang mengumumkannya keras-keras, mana mungkin aku tidak tahu!"
Tobi, pria yang aku temui tidak sengaja di kota Yaksha ini, hanya menggeleng tidak percaya. "Sudah berapa lama kau ada di Liang?"
Aku menggeleng. "Aku tidak menghitung hari."
"Aku juga tidak." Tobi mengakui. "Tapi seharusnya kau sadar munculnya kota-kota ini. Gempa-gempa besar itu tidak mudah dilewatkan."
Ketika Tobi menyebut gempa, aku membelalak dan nyaris saja berteriak, mengacaukan persembunyian kami. Tobi buru-buru membekap mulutku dengan sebelah tangannya yang tertutup jubah.
Tangan Tobi terasa aneh. Aku melirik ke bawah, ke arah tangan kirinya yang normal.
Tangan yang tertutup jubah ini besarnya dua kali dari tangannya yang kiri. Aku lantas melirik sisi kepala Tobi yang tertutup jubah. Sisi yang ditutupinya susah payah dengan tudung dan penutup kepala.
Sebelah sisi wajahnya meleleh. Berwarna abu-abu dan membengkak. Gejala yang kurang lebih sama seperti Irsyad dulu.
Tobi belum sampai kesulitan menegakkan kepala, jadi aku mengasumsikan, gejalanya belum seberapa parah.
Atau setidaknya belum sampai ke wajahnya, aku menambahkan ketika sadar tangan kanannya tidak sebegitu beruntung.
"Kau mau keluar dari kota ini atau tidak?" Aku mengangguk paham dan Tobi membebaskan mulutku. "Selain suara, pastikan lukamu tertutup! Yaksha sangat peka pada bau darah, apalagi Manusia."
Tobi lantas mengajakku keluar persembunyian. Segera setelah kami memastikan para Yaksha yang mengejar Tobi tidak kembali, kami buru-buru keluar. Tobi berlari memimpin sementara aku ada di belakang.
Benar, rupanya, gejalanya tidak seberapa parah. Dia masih bisa berlari.
"Kau tahu jalan keluar dari kota ini?"
"Jalan keluar terdekat harusnya ada di dekat sini! Tapi kita harus melewati alun-alun kota!
Detail. Terlalu detail. "Dari mana kau tahu?"
"Aku sudah di sini beberapa lama!" ujarnya. "Semua makhluk berengsek ini! Seenaknya menganggapku binatang peliharaan atau makanan! Mereka seenaknya membangun kota ini dari puing-puing peradaban kita dan mengakuinya sebagai milik mereka!"
Sementara kami berlari, aku mendongak mengamati para Yaksha yang tingginya jauh melampauiku, berjalan di tengah-tengah koridor yang seperti terbentuk alami dengan pilar-pilar batu menopangnya. Di antara lorong-lorong itu, beberapa blok batu terlihat dilubangi dan lebih rata dibanding yang lain.
Pemukiman yang diukir di pegunungan. Seperti situs-situs arkeologi yang pernah aku lihat di situs-situs pariwisata di masa lalu.
Ah, tidak, bentuknya tidak seperti ukiran. Ini seperti ... seolah gunung-gunung ini terbentuk secara alami. Ini tidak dibangun dengan merusak struktur gunung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maladies-UNEDITED 1ST DRAFT
Fantasy[TWISTED FOLKLORE] - "Semua hal di dunia ini jadi beracun untuk kita sekarang. Seolah dunia ini mengusir kita." Setelah kehilangan putra dan suaminya, Dayuh memutuskan untuk berkelana ke Permukaan bumi yang beracun demi mencari putra b...