Entah bagaimana, Kala bisa kehilangan ingatan. Entah karena infeksi atuakah karena pukulanku yang terlalu keras saat itu. Yang mana pun, aku hanya satu dua hal. Pertama, aku berhutang maaf pada putraku, berhutang segala-galanya, bahkan, karena membuatnya harus sendirian bertahan hidup di kota penuh Yaksha selama satu tahun.
Kedua, aku tahu Purusha harus disingkikran agar semua ini bisa selesai.
"Rupanya Rakyan yang kuat punya rahasia seperti ini," Purusha mencemooh. "Ini menjawab kenapa kau bersimpati pada Manusia."
Maladies di tubuhku berdenyut karena mencoba memulihkan Kala. Tapi saat ini, dentam kemarahanku jauh lebih besar dari semua Maladies di dunia ini digabung menjadi satu. Purusha, sosok Yaksha Alfa itu sama terlukanya seperti Kala. Darha hitam membasahi seluruh sosoknya yang kini sama seperti yang aku lihat dulu.
Batu dan puing di sekeliling kami terangkat dengan sendirinya. Aku menyaksikan pameran kekuatan itu dengan tenang. Ketakutan itu masih ada, tapi dentam Maladies yang terus menjalar membuatnya sedikit dapat diredam.
Aku melepas Kala dan berputar. Dengan tenaga seadanya, aku bangkit berdiri.
"Tunggu!" Kala menggenggam tanganku. "Apa yang kau—argh!"
Kala menarik tangannya tersentak kuat. Aku menunduk melihat satu kuncup bunga mekar dari tangan kiri yang diraihnya. Tangan kanan Kala yang menyentuhku tampak berubah semakin menjadi manusia.
"Tenang saja," Aku tersenyum kepadanya, seperti yang biasa aku lakukan dulu ketika menenangkannya di kala petir menyambar di luar. "Ini tidak akan lama."
Aku menghadapi sosok Purusha yang kembali menghimpun kekuatan.
"Dan apa ini?" Sosok yang berlumuran darah hitam itu menyeringai. "Kau juga dilindungi oleh Manusia? Kau sudah jatuh sejauh itu?"
Bahkan dengan wujudnya yang tidak seberapa mengerikan dibanding wujudnya yang sebelum ini, tekanan miasma yang dipancarkan oleh Purusha sama besarnya dengan yang ia pancarkan dalam wujud mengerikannya tadi. Dan ada beberapa Yaksha di sekeliling kami yang lari tunggang langgang.
Tidak ada yang mendekat ke arahku. Tidak ada yang berani ada dalam jangkauan tangan Purusha.
Entah ini bahaya atau malah kemungkinan bagus, aku malah tersenyum.
"Dan kau rupanya punya cukup tenaga untuk membuat lelucon, Tuan Purusha." Mataku melirik luka-lukanya yang tidak pulih. "Di saat luka-lukamu sendiri saja belum pulih."
Purusha tampak kesal oleh kata-kataku. Aroma manis-abu itu tercium di udara, tepat di samping kananku. Buru-buru aku menghindar, tepat saat sebongkah reruntuhan hancur tanpa sebab di sana. Aku membelalak ke arah Purusha.
Pengorbanan Suvia, apakah sia-sia? Tidak berpengaruh pada kekuatan Purusha sama sekali? Bagaimana dia masih bisa mengeluarkan kekuatan sedemikian besarnya?
"Manusia laknat! Lancang!" Ia mengikuti ke arah mana aku pergi dan saat itu juga, semua batu di tempatku berada, retak dan hancur. Aku menghindari serpihan batu itu dan ledakan miasma dari dirinya. "Beraninya kau muncul di hadapanku!"
Aku tahu beberapa Yaksha Alfa memiliki kekuatan istimewa. Yaksha penguasa kota Wisesa memancarkan api dari seluruh tubuhnya. Yaksha pemimpin kota Watira bisa membunuh siapa pun dengan sentuhannya. Keistimewaan ini pun mungkin yang dimiliki oleh Purusha. Dia dapat membunuh tanpa menyentuh. Aku tidak perlu tahu dengan apa ia membunuh. Saat ini aku hanya perlu tahu cara menghindari setiap serangannya.
Namun sepandai-pandai tupai melompat, dia akan gagal satu kali. Itulah yang aku alami saat salah satu puing terlempar dan menghantam kaki kananku. Dengan satu tangan yang berfungsi, jelas satu puing. Aku menggertakkan gigi saat berusaha lepas. Tidak mungkin bisa meloloskan diri dari puing-puing ini tanpa menghancurkan kakiku dalam prosesnya.
Jadi aku harus hancurkan atau tidak?
Sementara aku berpikir, tawa Purusha terdengar. Bayangannya jatuh di atasku saat dirinya tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku.
Mata merah Purusha mendelik dari atas, menunduk menatapku seolah aku serangga di kakinya. "Kau pengganggu," ujarnya, dengan jari menuding wajahku. "Dan pengganggu harus disingkirkan."
Aku tidak bisa berkedip ketika tangan itu berayun, tapi sebelum serangan diluncurkan, sekelebat bayangan melesat hebat dari belakang Purusha.
Kala.
Dengan satu tinju, Kala menghantam leher Purusha. Menghantamkannya ke sisi lain dengan mudah. Bangunan lain runtuh saat Purusha menerjangnya, tapi aku tertegun untuk hal yang lain.
Para Yaksha.
Makhluk-makhluk di luar sana berdiri dan menyaksikan. Mereka tidak berani mendekat, tapi mata-mata mereka melihat. Dan seluruh perhatian mereka terarah pada Yaksha yang sedang menyingkirkan reruntuhan yang menimpa kakiku.
"Ka-kala berhenti ... menyingkir dari sini!" Tapi dia tidak mendengarkanku. Dia tidak mau. "Kala, dengarkan—
"Diam!" Kala melempar reruntuhan itu dengan sekali lemparan, tepat ke arah para Yaksha yang sedang menonton di belakang yang langsung menjerit dan menyingkir. Kala berpegangan pada salah satu reruntuhan di belakangku. Ia menggenggam kepalanya sendiri begitu kuat.
Di bawahnya, aku hanya bisa tertegun melihat wajah kesakitan Kala. Wajah kotor dan berlumuran darah. Setetes darahnya menetes jatuh ke pipiku, membangkitkan Maladies yang menyerangku, tapi bagiku, ada rasa sakit yang jauh lebih menyakitkan dari rasa sakit Maladies.
"Jangan panggil aku dengan nama asing itu....!" Kala mengenyit, seperti menahan sakit. "Kau bukan siapa-siapa! Aku bukan putramu, Manusia!" Dia melotot, tapi itu tidak membuat kesakitan yang melekat padanya memudar. Malah, dia tampak semakin menderita. "Hanya karena aku punya wujud ini, kau dengan lancang menganggapku bagian dari darahmu? Jangan bercanda!"
Kala meninju reruntuhan di belakangku. Sebagian batunya runtuh dan menimpa pundakku.
Aku menyingkirkan batu itu dengan mudah dan melirik ek arah kerumunan yang mulai berbisik-bisik penuh konspirasi. "Kala ... mereka melihatmu..."
"Biarkan saja!" Kala pun kembali berdiri tegap dengan frustrasi. Dia menghadapi kerumunan tanpa takut ataupun mundur. "Semua ini akan berakhir juga cepat atau lambat."
Seklai lagi aku memerhatikan punggung lebar yang seperti melindungiku itu. Sebuah penghinaan besar bagi orang tua mana pun untuk duduk santai sementara anaknya berjuang. Sebuah dosa yang tidak termaafkan pula bagi semua orang tua, jika mereka membuat anaknya menderita.
Aku sudah melakukan semuanya. Aku menjadi sumber penderitaan putraku, duri yang tidak mau ia ingat.
"Kalau kalian berani...." Kala mengacungkan tinjunya. "Maju kalian semuanya sekaligus!"
Cerobohnya masih sama, rupanya. Anak yang suka sekali melanggar perintahku untuk tidak berkeliaran terlalu dekat dengan mulut gua. Anak yang dulu selalu memancing ke kedalaman yang tidak aman, hanya agar kami bertiga dapat makan.
"Kau tidak lagi bimbang?" Sebuah suara terdengar di kepalaku.
Tidak punya waktu menjawab pertanyaan itu, aku pun menoleh ke arah reruntuhan yang bergerak jauh di samping kananku. Tepat di saat reruntuhan itu jatuh dan muncul Purusha dari dalamnya. Masih hidup, meski tampak kacau balau. Kabut-kabut kelabu di sekelilingnya semakin pekat.
"Kurang ajar! Kurang ajar! Sialan!" Purusha memaki dalam bahasa Yaksha yang sebagiannya tidak bisa aku terjemahkan. "Manusia ... ini tidak sesuai perjanjian! Tidak seharusnya seperti ini! Dia tidak bilang begini! Seharusnya kami berkuasa mutlak di bumi sekarang!"
Kemudian Purusha meraung murka ke arah angkasa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Maladies-UNEDITED 1ST DRAFT
Fantasy[TWISTED FOLKLORE] - "Semua hal di dunia ini jadi beracun untuk kita sekarang. Seolah dunia ini mengusir kita." Setelah kehilangan putra dan suaminya, Dayuh memutuskan untuk berkelana ke Permukaan bumi yang beracun demi mencari putra b...