Aku terbatuk ketika Suvia akhirnya mencabut tangannya dari kepalaku. Gadis itu terkikik geli.
"Ah, ingatan yang lezat sekali." Makhluk itu menjilati jari jemarinya yang panjang, lalu tersenyum kepadaku. "Akan aku simpan sisanya untuk nanti."
"Tidak akan ada nanti." Aku menjawab sembari terengah. Aku meludahkan apa pun yang keluar dari mulutku, ke genangan air. "Aku tidak punya waktu untuk berdiam di sini."
"Ah, kau lupa kau sudah jadi milik siapa?"
Aku membalas senyum sinisnya. "Dan kau terlalu meremehkanku."
Suvia tersenyum, tidak lama kemudian, senyumnya pecah menjadi tawa. Sosok tubuhnya bergetar dan hampir pudar saat ia tergelak. Tapi aku tidak tertawa.
Ah, tentu saja. Aku tidak bisa percaya pada mereka. Sekalipun mereka mengambil segalanya dariku, tidak akan ada jaminan mereka mau membayarku dengan pantas. Seperti itulah mereka.
Tapi setidaknya aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk lari. Aku menunduk, tidak luput dari mengamati bagaimana Suvia selalu ada di dalam bayangan. Mungkinkah itu kemampuannya? Keterbatasannya?
Aku mengambil langkah mundur perlahan-lahan. Saat itu pakaian dan rasa hormat ada jauh di belakang. Semua hal itu akan tampak remeh-temeh jika sudah menyangkut nyawa sendiri. Dan aku sudah terbiasa untuk mengesampingkan semua itu demi bertahan hidup.
"Kalau kau berpikir untuk lari dariku, sebaiknya kau urungkan itu." Suvia berhenti tertawa. Kesempatanku sudah lewat. Sial.
Yaksha itu tersenyum kepadaku. "Ini ibukota kami, Manusia," ujarnya. "Kau pikir hanya ada satu tempat pelelangan Manusia di sini? Anak laki-laki dengan ciri yang kau sebutkan tadi pun ada banyak. Pusat pelelangan di sini selalu menyetok anak laki-laki yang kau maksud."
"Aku akan tahu anakku ketika aku bertemu dengannya."
"Dan kalau dia ternyata sudah mati?" Lagi. Pertanyaan itu lagi. Suvia tersenyum lebar, seolah ia sudah membaca reaksiku nanti. "Tentunya kau tidak mungkin berpikir kalau anakmu kemungkinan masih hidup di tengah kota kami, kan?"
"Dan tentunya kau tidak berpikir...." Aku balas tersenyum. "Aku akan memercayai omongan Yaksha, kan?"
Suvia, anehnya, tidak tampak tersinggung. Dia malahan membalas senyumku.
"Semangat yang bagus." Sekali lagi Yaksha itu muncul mendadak di hadapanku. Tapi kali ini aku mengambil langkah pintar dengan menjaga jarak darinya. Bahkan langsung melompat dari genangan air itu dan keluar, membasahi lantai. "Dan reaksi yang bagus."
Suvia tertawa.
"Tapi apa semangatmu itu akan bertahan, manusia?" tanyanya. "Di lima pusat pelelangan di kota ini?"
***
Aku menyusup dan berusaha untuk tidak membuat suara. Ruangan itu luas dan seluruh lantainya dibuat dari kayu yang berbunyi aneh setiap kali aku melangkah terlalu keras.
Para penjaga sedang ada di luar dan aku mungkin hanya punya waktu beberapa detik sebelum mereka semua kembali dan membawa pembeli. Dengan sebuah temali yang lupa ditarik lagi setelah kandangnya diambil, aku pun memanjatnya. Terus memanjatnya hingga wajah-wajah para penghuni kandang yang tergantung di ruangan itu tampak di depan mataku.
Dan kekacauan pun pecah.
Sosokku yang bebas, segera dielu-elukan oleh para penghuni kandang. Ratusan manusia yang terinfeksi berteriak serentak, memohon untuk dibebaskan, dan berusaha menggapai-gapai tali tempatku bergelantungan.
Kondisi para penghuni kandang pun bermacam-macam. Separuhnya masih terlihat berukuran dan berwujud manusia, walau tidak utuh sebagai Manusia lagi. Sementara sebagian lain yang tidak berwujud Manusia, mereka meleleh dari kandang, membengkak dan tidak bisa bergerak, atau terbaring lemah, kurus bagai kerangka. Kebanyakan dari mereka berbicara bahasa yang tidak aku mengerti—mereka yang masih bisa bicara—sisanya, hanya merintih-rintih tidak jelas.
Mataku beredar dengan cepat ke wajah-wajah yang tidak aku kenali.
"Kala?" bisikku. "Kala? Kau ada di sini?"
Tidak ada yang menoleh. Tidak ada yang menyahut. Tidak ada pula yang wajahnya serupa dengan putraku.
"Apa yang dilakukan manusia-manusia itu?" Suara geraman dalam bahasa Yaksha terdengar. "Apa mereka berebutan tali lagi? Kau lupa menariknya?"
Sial. Waktuku sudah habis.
Dan tidak ada Kala di tempat ini. Lagi.
Aku segera turun dari tali itu dan bersembunyi. Tapi manusia-manusia terinfeksi yang terkurung dalam kandang malah menunjuk-nunjuk jari mereka yang besar, berbonggol-bonggol atau bersisik seperti kulit akar pohon, tepat ke arahku di lantai. Mereka bahkan berteriak-teriak menarik perhatian petugas.
Sial. Sial. Manusia maupun yaksha, sulit mempercayai mereka semua di saat seperti ini!
Aku buru-buru melarikan diri dari tempat itu, masa bodo terlihat atau tidak. Waktuku tidak banyak, waktu Kala mungkin juga sudah tidak banyak. Sudah terlalu banyak waktu kami terbuang sia-sia.
Saatnya pergi ke pusat pelelangan keempat.
***
Aku menatap pakaian di tanganku dengan tatapan curiga. Itu jelas bukan pakaian yang datang secara gratis. Terlebih, pakaian yang terdiri dari kaus lengan panjang dan celana katun itu ini dalam kondisi bersih. Ada bercak darah dan beberapa sobekan, tapi ini pakaian manusia terbaik yang pernah aku lihat sejak semua ini terjadi.
"Pakaian itu seingatku bukan untuk ditatap." Suvia berkata di dekatku.
Aku mengenakan pakaian itu dengan kesal. Sudah pasti pakaian ini mengandung kutu yang bisa membunuh atau sejenisnya. Tapi masa bodolah. Pakai dan ambil apa yang berguna, bukankah aku sudah pernah diajari begitu oleh Irsyad?
Tapi aku juga sudah terbiasa untuk menanyakan motif sebelum bertindak. "Kenapa?"
"Apanya?" Suvia balik bertanya.
"Pakaian ini ... semua ini." Aku menjawab. "Kau tidak mau memakanku?"
"Ah, benar, juga!" Suvia menepuk tangannya. "Kau tidak tahu apa aku ini, ya?"
Suvia melayang mendekat. "Aku tidak memakan Manusia." Dia lantas memandang tubuhnya sendiri yang putih pucat. "Seperti yang kau lihat, aku tidak punya struktur pencernaan seperti Yaksha."
"Tapi kau bicara bahasa mereka."
"Begitu pula denganmu," balasnya, yang kali ini dalam bahasa Manusia. "Kalau terbiasa mendengar, lama-lama kau akan paham bahasa mereka, kan?"
"Tapi kau tidak akan menjadi satu kaum dengan mereka."
Suvia tersenyum. "Kata-kata yang pintar untuk ukuran Manusia."
"Yaksha bernama Rakyan ... tuanmu itu, pasti tidak akan senang."
"Oh, tapi dia bilang, aku bebas berbuat apa pun kepadamu," ujarnya. "Termasuk membebaskanmu."
"Kebohonganmu murahan sekali."
Suvia tertawa. "Anggap saja ini kemurahan hati yang kecil," ujarya, lalu menunjuk kepalaku. "Sebagai ganti aku merasakan memorimu yang lezat."
Memori? Dia memakan memoriku?
Makhluk itu tertawa lagi. "Oh, jangan pucat begitu. Aku hanya mencicipi ingatan, menyerap rasa sakitnya, tanpa menyerap ingatannya."
Seolah aku bisa terhibur dengan itu!
Tapi makhluk yang memakan ingatan ... aku baru kali ini mendengarnya. Makhluk apa sebenarnya dia ini?
"Aku bisa memberitahumu lima lokasi pelelangan yang sedang diadakan di kota Purusha ini, Nona Manusia." Suvia berkata, dengan nada yang tidak bisa aku artikan selain memberikan penawaran.
"Apa imbalanmu?"
"Langsung ke intinya, aku suka itu." Dia berputar. Sosoknya lenyap sejenak, sebelum kembali muncul di belakangku. Hawa dingin yang menyertainya membuatku merinding, tapi aku tidak membiarkannya ketakutan.
Butuh segenap tenaga untuk tidak bergidik saat merasakan Suvia mendekat. Yaksha itu pun berbisik pelan, tepat ke telingaku.
"Beritahu aku, penyebab kau kehilangan putramu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Maladies-UNEDITED 1ST DRAFT
Fantasy[TWISTED FOLKLORE] - "Semua hal di dunia ini jadi beracun untuk kita sekarang. Seolah dunia ini mengusir kita." Setelah kehilangan putra dan suaminya, Dayuh memutuskan untuk berkelana ke Permukaan bumi yang beracun demi mencari putra b...