25. Victims of Sacrifice

4 6 0
                                    

Jauh dariku, Purusha masih bertarung melawan Rakyan. Ah, mungkin pertarungan adalah kata yang terlalu lembut untuk menggambarkan penghakiman sepihak yang dilakukan Purusha pada Rakyan.

Yaksha Alfa itu tidak henti menendang dan menghajar Rakyan tanpa memberinya kesempatan untuk melawan. Tubuh Rakyan terpental ke berbagai arah dan dinding-dinding rumah ini hancur dalam satu kali serangan. Namun Rakyan bukan yaksha yang bisa diremehkan. Dia tidak sekalipun menyerah atau memohon ampun. Dia terus bertahan, meski tersudut. Menunjukkan sebuah tekad, kecil tapi berarti.

Melihatnya seperti itu, walau masih belum pasti dia putraku atau bukan, tetap memberikan rasa tidak nyaman. Dia sudah banyak menolongku. Dan kebenaran yang terungkap soal dirinya hanya membuat semua perasaan tidak enak ini semakin buruk.

"Kau ingin menolong Rakyan?" Aku teringat kata-kata Suvia tadi. Bahkan sebelum dia sempat menjawab pertanyaanku. Dia seenaknya memutar topic ke arah yang lain. "Ikuti rencanaku dan kalian berdua akan selamat."

Aku memegangi tangan kanan yang kembali sakit.

"Kau mungkin bukan manusia murni yang akan menghentikan semua kekuasaan kami," Kata-kata Suvia kembali bergema di kepalaku. "Tapi kau jelas adalah bukti bahwa manusia itu memang ada."

Aku tidak mengerti apa pun. Kata-katanya, semua ini, Maladies, Yaksha, kondisi bumi yang mendadak berubah, tidak ada satu pun yang bisa aku pahami. Tapi jika dalam keadaan payah begini pun ada yang bisa aku lakukan, akan aku lakukan sebisaku.

Tanganku menyentuh lantai rumah. Maladies di tanganku mengalir. Tanah di bawah tanganku bergetar, tapi mungkin itu karena bunyi pertarungan yang belum berakhir di luar sana.

Suara jeritan Rakyan bergema.

"Bersekutu dengan Manusia." Dinding di dekatku kembali hancur dan punggung Rakyan muncul di sana. "Kau lebih rendah dari serangga."

Kemarahan meletup dalam dadaku ketika melihat Rakyan dihakimi secara sepihak. Belum ada yang terbukti, tapi ... aku tahu Yaksha seperti Purusha harus dihentikan.

"Kau tahu keadaan kita belum aman," Purusha kembali menghajar. "Tapi kau malah membuat keadaan kita semakin genting dengan membiarkan manusia itu kabur! Kau ini Yaksha macam apa, Rakyan?"

Aku menggertakkan gigi menahan amarah. Kali ini aku tidak menahan diri. Kubiarkan Maladies itu merongrong tubuhku, menggerogotinya dari dalam. Jantungku berdentam sakit lagi. Napasku sesak dan kepalaku pusing luar biasa. Tapi aku tidak menyerah. Aku tidak mau, tidak di depan orang yang melindungiku dengan darahnya sendiri.

Hei, kutukan sialan!

Kenapa suara menyebalkan itu tidak ada ketika aku membutuhkannya? Kepalaku terasa sunyi sekali sekarang!

Kau ingin memakanku, bukan?

Maladies di tanganku berdentam, seperti merespons panggilanku. Bunga-bunga putih itu mekar semakin banyak dan ranting-ranting mencuat semakin tinggi. Cakar-cakarku tertancap ke tanah dan aku bisa merasakan ujung-ujung jariku, semakin ke atas, semakin mati rasa. Kelima jariku menyebar dan tanah pun retak terbelah. Akar-akar menancap dengan dalam ke sana.

Kemudian sebatang tunas muncul. Dia bertumbuh dengan cepat dengan daun-daun hijau yang bermunculan dan bunga-bunga putih yang menguncup. Ketika kuncup-kuncup itu mekar, mendadak saja aku bisa kembali bernapas. Aroma miasma lenyap.

Tapi tubuhku semakin berat dan Maladies di tubuhku berdenyut semakin kencang.

"Kau masih bimbang." Suara itu kembali ke kepalaku. "Kebimbangan tidak akan menyelesaikan perjanjian ini."

Aku membelalak kaget. Tidak hanya karena sekali lagi perjanjian yang tidak aku ketahui disebut, tapi juga karena Maladies di tubuhku mengetahuinya. Sebenarnya apa perjanjian yang dimaksud mereka semua?

Apa sebenarnya Maladies?

"Manusia!"

Kedua mataku membelalak ke arah depan, tepat ke arah Purusha yang menerjang. Ketakutan langsung menyergap tubuhku yang ambruk seketika di hadapan Purusha yang melesat cepat. Tanganku yang berat tidak bisa lagi diangkat dari lantai dan Maladie itu sudah berdentam di kepalaku, seakan mencapai otakku dan mulai memakannya dari dalam.

Tiba-tiba kemudian sosok Purusha berhenti. Dia tidak bertambah dekat. Cakarnya yang hitam legam tidak berhasil menyambarku. Hanya aroma miasma darinya yang kian tipis yang berhasil mencapai hidungku. Itu pun, segera lenyap. Bunga-bunga putih di hadapan kami tumbuh semakin subur. Batangnya semakin tinggi dan besar, daunnya semakin lebat. Purusha terlonjak dan berusaha mundur, menjauh dari bunga yang tumbuh dari tangan kananku.

Namun Purusha tidak mundur terlalu jauh. Selama sesaat, aku bertanya-tanya, hingga aku melihat sekelebat bayangan putih dari sosok Suvia memadat di belakang Purusha. Tangannya yang membentuk cakar putih memegangi kepala Yaksha Alfa itu. Suvia menyeringai. Kedua bola mata Purusha naik. Dengan kaku, ia melirik Suvia. Kedua mata merahnya penuh dengan kemarahan.

"Ah, seperti ini rupanya rasa ketakutan Anda, Tuan Purusha." Sebaliknya, Suvia tampak menyeringai senang. "Tidak menyangka kelemahan seperti saya bisa menyentuh Anda sebaik Leannan yang lain?"

"Kau....!" Purusha meraung marah, memberontak, tapi percuma. Tangan tajam Suvia sudah menusuk masuk ked alma kepalanya. "Kau tidak akan selamat dari semua ini!"

Suvia tertawa, begitu manis dan keji. "Saya pun tidak berniat selamat dari semua ini, Tuan Purusha."

Kedua mata Purusha membelalak. "Mustahil...." Ia menoleh, tapi terlambat.

Tangan itu sudah lebih dahulu menikam dadanya. Purusha membelalak. Darah hitam meluncur dari mulutnya. Sosoknya yang besar dan mengerikan, perlahan menyusut menjadi sosok Purusha yang semula.

"Tidak ada yang mustahil, Tuan Purusha," Suvia berkata. "Bahkan keturunan lemah sepertiku bisa membuatmu tunduk, bukan?"

"Aku ... kalah dari sesuatu sepertimu?!" Kedua mata Purusha menyala oleh kemarahan. Suvia membelalak ketika miasma yang padat sekali lagi keluar dari tubuh Purusha. "Jangan bercanda!"

Purusha meraung. Aku langsung menutup hidung dengan tangan kiri ketika aroma miasma tercium pekat di udara, bahkan sampai membuatku sesak napas. Tanah di bawah kakiku bergetar. Aku mencengkam tanah lebih kuat untuk mempertahankan diri, tapi percuma. Purusha jauh lebih kuat dariku bahkan dalam keadaan seperti ini.Tubuhku terpental ke dinding. Tapi tidak ada rasa sakit. Aku menoleh ke belakang, melihat Rakyan telah melindungiku.

Aku hendak bangkit lagi, tapi tangan Rakyan mencegah. Mulutku sempat menggaungkan protes, tapi langsung tertelan oleh amukan yang menjadi-jadi di udara. Rakyan segera melindungiku dengan tubuhnya.

"Rakyan, apa yang kau—

"Diam dan tenanglah!" Rakyan meraung kesal. "Ini belum berakhir! Bahaya jika kau—

"Suvia ada di sana!" Namun teriakanku diabaikan oleh Rakyan. Sebaliknya, di sekeliling kami, pilar-pilar berjatuhan. "Rakyan!"

"Kau benar-benar konyol, Manusia." Suara Suvia bergema di antara kekacauan. "Masih memedulikan orang lain di saat seperti ini ... mungkin karena inilah aku tidak pernah bisa membenci kalian sepenuhnya."

Aku menoleh ke balik celah tangan-tangan Rakyan yang menutupi mataku.

Dan langsung mencelus saat melihat wajah Suvia yang memudar tersenyum kepadaku. Sosoknya termakan kabut kelabu miasma dari tubuh Purusha. Tanpa lambaian tangan, sosok itu menghilang dengan seberkas senyum yang tetap melekat di bibirnya sampai akhir.

Tanpa suara, bibir Suvia mengucapkan satu kalimat sederhana. Hanya dua kata, tapi aku akan mengingatnya sampai maut menjemput: "Selamat tinggal."

Kemudian dunia di sekelilingku runtuh.

***

Maladies-UNEDITED 1ST DRAFTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang