Kegelapan di sekelilingku mengingatkanku pada kondisi Liang tempatku tinggal dahulu. Sunyi dan dingin, liang tempatku tinggal tidak ubahnya lubang tikus untuk bersembunyi. Tapi Liang ini berbeda. Aku mencium aroma debu yang mirip aroma miasma yang diiringi aroma semerbak yang menginatkanku pada kuntum bunga melati.
Dan aroma lumut yang pekat.
Aku membuka mata, menyadari kegelapan ada di sekeliling kami. Kepalaku menoleh ke berbagai sisi, mencari cahaya, tapi aku yang sembarangan menggerakkan tangan, menyentuh sebuah pilar yang basah di sampingku. Aku mengarahkan ujung jari yang basah ke hidung dan seketika itu juga aku mengenali baunya.
Ini aroma darah Yaksha.
Kemudian ingatanku kembali. Ingatan sebelum semuanya reruntuhan jatuh menimpa kami. Purusha mengamuk, Suvia mati, dan Rakyan melindungiku.
Pikiran terakhir itu langsung membuatku mencari-cari sosok raksasa yang sebelumnya ada tepat di atasku. Tanganku meraba-raba, tapi tidak menemukan apa pun selain dinding batu yang mengimpit di atas kepala.
"Rakyan?" panggilku hati-hati, meski tengah panik setengah mati. Aku tidak mau yang menjawab panggilanku justru Purusha yang mungkin sedang mendengarkan entah di mana. "Rakyan, di mana kau?"
Aku terus meraba-raba hingga menyentuh bagian basah yang terasa aneh. Geraman marah terdengar setelahnya. Geraman marah yang familier, tapi tidak begitu mirip Rakyan. Asalnya dari dekatku.
Tanganku meraba ke balik kegelapan. Mencoba menyentuh apa pun yang mungkin masuk jangkauan. "Rakyan?"
Terdengar suara mengaduh ketika tanganku menyentuh sesuatu yang berlendir. "Kulihat kau selamat, Manusia."
Rintihan itu terdengar tidak biasa, jadi aku meraba lebih jauh dan menyadari, ada sebuah pasak, mungkin pecahan dari langit-langit, tertancap di sesuatu ... sesuatu yang terasa seperti tubuh. Pikiran horror itu segera menyerangku.
"Rakyan ... kau terluka?" tanyaku.
Tidak ada jawaban, tapi aku mengingat dengan betul suara yang ditimbulkan Rakyan sebelumnya. Sebongkah reruntuhan jatuh di belakang kami. Aku menoleh dengan kaget, tapi rupanya reruntuhan itu memang jatuh sendiri, mempersilakan sepetak sinar samar-samar jatuh di antara kami. Menerangi mataku yang mulai terbiasa.
Sosok Rakyan tergeletak duduk tepat di hadapanku. Bukan dalam sosok Yaksha raksasa yang aku ingat, melainkan sosok manusianya. Luka-lukanya bertambah parah. Luka di perutnya yang sebelumnya aku obati, kini terbuka dua kali lebih lebar dari sebelumnya. Dan ada sebuah luka menganga persis di sebelahnya. Sebuah puing masih menancap di pundaknya dan sesuatu sepertinya menghantam kepalanya dengan kuat hingga dia berdarah. Sebelah tanduknya patah. Mungkin dari sanalah cairan ungu gelap itu berasal dan menetes ke lantai tanpa henti.
Aku langsung menunduk, menyaksikan tangan kananku yang hanya tinggal separuh. Bunga-bunga dan ranting itu masih ada di sana, tapi tanganku mulai dari siku sampai ke bawah, lenyap. Jantungku rasanya melorot melihat pemandangan itu, tapi lebih aneh lagi saat aku menyadari tidak ada rasa sakit yang datang menyusul. Tidak ada darah.
Apa semua infeksi seperti ini? Tidak terasa sakit? Kalau begitu ... saat itu mungkinkah Irsyad juga....?
"Kelihatannya kau juga tidak seberapa baik," Rakyan terkekeh, meski terdengar kepayahan.
Aku menggenggam lengan itu erat-erat. Menghancurkan salah satu bunga itu dalam satu pelukan erat. "Kau sudah tahu risikonya, tapi kenapa ... kau menolongku?"
"Entahlah," Rakyan mendebas. "Mungkin bukan alasan yang ingin kau dengar."
Kepala Rakyan menggantung dengan lesu. Tidak ada lagi suara yang keluar darinya. Aku langsung panik dan berdiri. Kepalaku terbentur puing yang mengepung kami dari atas, tapi rasa sakitnya bahkan tidak aku rasakan. Aku merangsek mendekati sosok manusia itu. Tanganku terulur, tapi tiba-tiba tangan hitam Rakyan meraih tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maladies-UNEDITED 1ST DRAFT
Fantezie[TWISTED FOLKLORE] - "Semua hal di dunia ini jadi beracun untuk kita sekarang. Seolah dunia ini mengusir kita." Setelah kehilangan putra dan suaminya, Dayuh memutuskan untuk berkelana ke Permukaan bumi yang beracun demi mencari putra b...