Sejak awal petualanganku di Permukaan, ada sebuah kata yang senantiasa diperbincangkan oleh para Yaksha berakal, baik di dalam kota mereka maupun di alam liar.
Purusha.
Kata itu selalu didengungkan dari lidah mereka yang bisa saling berkomunikasi. Bahkan beberapa Yaksha yang hanya bisa bicara beberapa kata pun akan langsung terdiam dan tunduk ketika kata itu disebutkan.
Ibukota para Yaksha. Kota terbesar dari peradaban Yaksha setelah mereka menguasai seluruh permukaan bumi. Banyak transaksi berlangsung di sana dan jalur lalu lintas dipenuhi oleh kabar Yaksha yang keluar dan masuk kota itu.
Bersamaan dengan kabar yang berseliweran, muncullah kabar bahwa perbudakan Manusia lancar dan berkembang pesat di sana. Jadi ketika aku mendengar ada seorang anak laki-laki manusia yang ditangkap di permukaan saat sedang berjalan sendirian, seluruh energi dan usahaku terpusat ke kota itu.
Sekarang setelah aku sampai di kota yang dimaksud, aku bisa paham kenapa semua Yaksha membicarakan kota ini dengan sangat antusias.
Mereka tidak main-main pada julukan ibukota.
Ini adalah kota Yaksha terbesar yang pernah aku singgahi. Bahkan dengan kesadaran setengah, aku bisa tahu kota ini sangat besar.
Di bawah langit yang telah selamanya menjadi kelabu, Kota Purusha berdiri megah. Seperti kota Yaksha yang lain, Purusha dibangun dengan mengukir gunung dan bukit berbatu. Tapi dari ukurannya, jelas aku tidak ingat pernah ada gunung sebesar ini di dekat sini.
Ah, bicara apa aku?
Setelah semua yang terjadi, sudah bukan barang heran aku menjadi yang paling kecil di sini. Para penduduk dunia ini juga, sudah bertambah besar. Tidak mengherankan jika alam mengikuti bentuk para penghuninya, kan?
Karena Manusia bukan lagi penguasa bumi ini.
Aku melirik ke luar jeruji kandang, menyaksikan bentuk rumah dan bagaimana pemukiman berjalan, semua mengikuti kontur alam tanpa pernah merusaknya. Pilar demi pilar batu diukir dan rumah-rumah dibangun tanpa mengikis sedikit pun pepohonan yang ada.
Di mana-mana, pepohonan tumbuh raksasa, menaungi setiap celah rumah dan jalan. Kristal api menjadi sumber penerangan dalam kandelir-kandelir besi yang berkilauan. Dari balik dedaunan dan akarnya, bintang-bintang kecil yang hidup terbang melintas.
Ah, bukan, mereka bukan bintang.
Itu kunang-kunang.
Sekumpulan kunang-kunang berbagai cahaya melintas menuju sebuah patung yang besar, berdiri tegap di tempat terbuka yang aku kira adalah alun-alun kota.
Di tanah terbuka bermandikan cahaya rembulan itu, berdiri patung seorang dengan jubah, empat tangan—sepasang tangan raksasa bercakar dan sepasang tangan mungil seperti Manusia—berdiri kokoh dengan pedang di tangannya. Semakin kami berjalan, semakin aku bisa melihat wajahnya yang tadi tertutup atap kerangkeng.
Wajah patung itu tertutup topeng iblis bertanduk, membuat sosok anehnya yang sudah menakutkan, jadi dua ratus kali lebih mengerikan.
Tanpa perlu diberitahu, aku langsung yakin patung siapa itu. Meski dibangun dengan cara berbeda, berisikan kaum yang berbeda, dan punya variasi kepadatan berbeda, kota para Yaksha dinamai berdasarkan satu pola yang sama: nama penguasa.
Nama pendirinya selama ia masih hidup.
Jadi patung itu, tidak lain dan tidak bukan adalah patung pendiri kota ini sekaligus penguasanya. "Purusha...."
Jelas sosok itu berbeda dari makhluk bernama Rakyan yang aku temui tadi. Dari patungnya saja, Purusha tampak lebih berkuasa. Kunang-kunang yang berseliweran di patung itu pun tidak memberi kesan lebih baik. Malahan, mereka tampak seperti ratusan mata yang mengawasi. Seolah memperingatkanku untuk jangan harap untuk mengalahkannya, lari darinya pun mustahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maladies-UNEDITED 1ST DRAFT
Fantasy[TWISTED FOLKLORE] - "Semua hal di dunia ini jadi beracun untuk kita sekarang. Seolah dunia ini mengusir kita." Setelah kehilangan putra dan suaminya, Dayuh memutuskan untuk berkelana ke Permukaan bumi yang beracun demi mencari putra b...