8. The Day I Survive

7 8 2
                                    

Aku menjadi tidak lebih dari beban saat kami keluar rumah sakit. Irsyad menggendongku ke mana-mana seharian, menungguku ketika aku tidak lagi kuat berjalan, dan menyediakan semua keperluanku tanpa pernah mengeluh.

Ia adalah alasanku masih bisa tersenyum sesekali. Setiap kali ingatan soal anak kami yang telah dimakamkan terselip keluar, setiap kali aku ingat kalau kami mungkin tidak akan bisa mengunjungi makam Azka untuk kali kedua, dia selalu berhasil mengembalikan senyumku. Meyakinkanku bahwa harapan itu masih ada. Kami masih bersama.

Ketika akhirnya aku cukup kuat untuk berjalan, Irsyad membawaku keluar ke rumah sakit. Di sanalah aku membenarkan kata-kata Irysad.

"Tidak aman berjalan saat malam," katanya.

Dan memang, saat malam turun, keadaan jadi jauh lebih kacau.

Irsyad menyembunyikanku di ruang bawah tanah rumah sakit, tempat lapangan parkir dan kantin tadinya terletak. Sekarang tempat itu hanya seperti gua dengan reruntuhan pilar dari lantai atas yang terjerembab jatuh entah oleh beban seberat apa penyebabnya. Semalaman, ia berjaga menjagaku.

"Aku akan berjaga, kau tidur saja." Dia berucap demikian, tapi dengan mimpi buruk yang selalu datang setiap kali menutup mata: wajah berdarah Azka yang terakhir aku lihat, aku lebih terjaga daripada dirinya.

Keputusan itu benar, untungnya, karena aku berhasil membantu Irsyad menghindari beberapa makhluk yang berkeliling di dekat kami.

Makhluk-makhluk itu berukuran lebih besar dari kami. Jauh lebih besar. Dengan penampilan yang sama sekali tidak masuk akal. Beberapa bersisik dan melata, beberapa berbulu dan berjalan di atas empat kaki, beberapa bertubuh besar dengan banyak otot berjalan dengan dua kaki dan membawa senjata berupa apa pun yang mereka temukan dan berukuran lebih besar dari tubuh mereka sendiri.

Aku merasa semakin gila saja. Mitos-mitos yang aku kenal dari kecil, mendadak mewujud di depan mata sendiri. Siapa yang tahu, di kenyataan mereka ternyata lebih seram dan lebih sulit dikalahkan daripada di buku-buku?

Ah, lagipula siapa yang tahu mereka itu nyata?

Makhluk-makhluk itu kebanyakan tidak bersuara selain menggeram atau meraung di dekat kami. Tapi sekali, aku pernah mendengar mereka berbicara. Sebuah bahasa yang asing, bahasa yang tidak aku mengerti. Irsyad pun tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Di saat internet masih menyala, mungkin kami bisa menggunakan aplikasi pendeteksi bahasa, tapi semua kemudahan itu sudah lenyap.

Kami bahkan tidak lagi memiliki tentara dan polisi untuk mengamankan diri.

"Semuanya lenyap di malam kedua." Irsyad menjelaskan. "Pasukan terakhir, bom yang berusaha dijatuhkan, makhluk-makhluk itu berhasil mementalkan bom sebelum benda itu sempat merusak apa pun."

Penjelasan yang tidak masuk akal. Makhluk sekuat apa yang mampu menangkal bom?

Setelah kisah itu, aku sudah mengetahui sisanya. Setidaknya, mendengar transmisi terakhir yang mereka kirimkan lewat sinyal radio berhari-hari berikutnya, sampai aku bangun dan mendengarkannya di suatu malam.

"Pemerintah menetapkan keadaan darurat nasional! Seluruh warga, lindungi diri kalian masing-masing!"

Kemudian siaran berakhir. Dan mungkin, negara ini juga sudah berakhir.

***

Keadaan di luar jauh lebih buruk dari keadaan di dalam rumah sakit. Jalanan aspal terbelah dan aku berulang kali harus menghindar dan melompat untuk menghindari retakan yang membuka jalan bagi sungai-sungai raksasa untuk membelah daratan.

Akar-akar pohon raksasa mencuat dari tanah, memakan rumah, infrastruktur, dan jalanan, memecah semua bukti perabadan. Di atas akar-akar itu, dahan dan cabang bertumbuh, menjadi pohon-pohon raksasa yang bahkan di mataku yang telah lama hidup, tampak tidak familiar. Terlalu banyak akar gantung, terlalu banyak daun dan bunga yang asing yang menyala di malam hari. Serta serangga-serangga yang juga asing.

Maladies-UNEDITED 1ST DRAFTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang