Iri

82 13 4
                                    

Tidak. Tegas ku jelaskan dalam hati bahwa aku tidak insecure. Aku tidak cemburu ataupun iri dengan pencapaian orang lain. Tidak! Sama sekali tidak.

Huh!

Bayangan Dita yang memegang piala kemenangannya pada Olimpiade Biologi minggu kemarin, tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Dia tersenyum bahagia dan para guru berjejer di sebelahnya memberikan selamat.

"Aaarggh... "

Ah, tiba-tiba kepalaku sakit. Yang benar saja, kenapa Dita bisa sangat pintar dalam menjawab soal-soal aneh itu? Sel? Struktur organ?  Taksonomi ? Apa-apaan itu semua?

Kenapa kita harus repot-repot memikirkan tentang pertumbuhan sel yang bahkan tidak bisa dilihat dengan mata telanjang? Dan juga, kenapa harus memusingkan kepala dengan meneliti struktur genetika manusia dan hewan?

"Astaga, kurang kerjaan sekali dia. Hahahahha, mau pamer bilang dong."

"Ah, sudahlah. " Aku meraih ponsel dengan casing doraemon yang terletak di kasur. Untuk merilekskan pikiran dari Dita, aku membuka Instagram dan berselancar di dalamnya. Namun, selang beberapa saat, postingan yang tidak kusukai lagi-lagi terlihat.

"Astagaaa, kenapa manusia sangat suka memamerkan keberhasilan mereka di sosial media? "

Ck, foto Bagas yang memenangkan turnamen bola bersama timnya kembali membuatku meradang. Hei! Bukan, aku sudah katakan kalau aku tidak iri. Yang benar saja, kenapa aku harus iri?

Aku melipat tangan di dada, ponsel yang sedari tadi dalam genggamanku sudah  terlempar entah kemana. Aku sangat kesal tapi tidak iri, ah bagaimana sih maksudnya. Sudahlah!

Aku merebahkan tubuhku di kasur, rasanya sangat nyaman. Mataku menjelahi langit-langit kamar dengan pikiran yang entah kemana-mana. Semuanya terasa kacau menurutku. Aku merasa rendah dan pengecut. Tuhan, aku tidak tahu apakah ini iri atau tidak.

Huuuuh...

Pikiranku diselimuti kata kenapa yah. Bak hujan, dua kata itu menghujam otakku yang seketika semakin terasa sakit.

Kenapa yah mereka bisa?
Kenapa yah mereka sangat berprestasi?
Kenapa yah mereka bisa mendapatkan itu?
Kenapa yah aku gak bisa seperti mereka?
Kenapa yah...
Kenapa yah...
Kenapa yah....

Aku menutup telingaku. Kalimat-kalimat itu terus berdengung semakin keras, rasanya telingaku mau meledak.

Hiks, aku menangis sesegukan. Melihat pencapaian orang lain yang begitu besar membuatku sakit hati, bukan karena iri. Hanya saja aku merasa tidak bisa seperti mereka. Aku merasa gagal dalam bersaing.

"Ya Allah, maafkan Rina. Rina gak ingin iri atau cemburu sama pencapaian orang lain, tapi kenapa Rina gak bisa seperti mereka? " Dadaku naik turun, rasanya sakit sekali. Aku merasa ribuan jarum menghujam dadaku.

Perlahan, aku turun dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Aku berwudhu untuk mendinginkan wajahku yang memanas. Dan juga katanya, dengan berwudhu dapat menenangkan hati.

Aku keluar dari kamar mandi dengan mata yang sembab, masih ada mendung dalam hatiku. Aku memungut kembali ponsel yang sempat ku lemparkan tadi, ada sedikit goresan disana. Apakah sekeras itu aku melemparkannya? Aishh, aku menyesal!

Aku terduduk lemah dilantai, rasa sesak itu kembali muncul.

Huhuhuhuhuhu.....

Mendung itu kini berubah menjadi badai, air mata tak bisa ku bendung lebih lama. Ia sungguh mewakili rasa sakit hatiku.

Menyebalkan!

Aku mendongak, kembali menatap langit-langit kamar. Ada dua ekor cicak yang memperhatikanku.

"Yaaaa, kenapa kalian melihatku seperti itu? Apa aku sangat menyedihkan? Hah??! "

Aku merasa seperti orang gila. Mengapa aku berteriak kepada dua ekor cicak yang bahkan tak mengerti bahasaku apalagi dengan apa terjadi pada diriku.

Huhuhuhuhu...

Dua ekor cicak tadi masih terus memperhatikan, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan sehingga betah melihatku yang sedang menangis.

*****
Pov Author

"Manusia itu aneh yah, mereka memiliki segalanya tapi masih iri dengan keberhasilan orang lain. " Ujar cicak pertama.

"Iya, betul. Kenapa dia merasa menyedihkan dan rendah diri? Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan bakat dan kemampuan yang berbeda-beda? " Cicak kedua merasa lucu.

Kedua binatang yang gemar menangkap nyamuk itu mengalihkan pandangan mereka ke arah dinding lain yang penuh dengan frame penghargaan Rina atas berbagai lomba kepenulisan yang ia ikuti. Ada juga sepuluh novel karangan Rina yang berjejer rapi diantara rak buku.

"Begitulah manusia, hanya bisa melihat emas kecil milik orang lain dengan mata berbinar penuh harap tanpa mau melihat kedalam diri sendiri yang sebetulnya penuh dengan berlian dan intan. "

🍀🍀🍀

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang