Rumah Yang Ditinggalkan

11 3 0
                                    

Suara serangga malam bersahutan dari taman belakang rumah Asih. Sudah pukul sepuluh, mata dan tubuhnya masih belum mau diistirahatkan. Setelah seharian menyibukkan diri bertemu klien dan merencanakan beberapa jadwal workshop menulis, kepalanya terasa ringan. Setidaknya, untuk beberapa saat di siang hari ia bisa sejenak melupakan mantan suaminya.

Tapi malam adalah waktu yang menyesakkan. Waktu yang harusnya digunakan untuk beristirahat malah jadi sesi yang menyiksa batin dan pikiran Asih.

Setiap malam, kenangan kebahagiaan berumah tangga bersama Hendra terus mengusiknya. Menjadi istri dan ibu yang baik selama dua puluh tahun ternyata tak membuat Hendra bersyukur.

Asih bukan wanita yang hanya senang menerima uang hasil keringat Hendra. Ia mandiri dan selalu membantu ekonomi keluarga. Asih seorang penulis yang secara mandiri menghasilkan uang dari tulisan yang ia buat.

Seingatnya, ia tak pernah menyusahkan Hendra. Ia tak pernah meminta hal-hal aneh diluar kemampuan Hendra. Seingatnya, selama menjadi istri Hendra, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik dan tak ingin memberatkan lelaki yang dicintainya itu.

Tapi, kenapa?

Asih turun dari ranjang. Pelan, ia melangkah menuju jendela kamarnya. Dibukanya perlahan jendela kayu itu. Desiran angin malam dan kerlap-kerlip bintang menyambut kepiluannya.

Asih menghela napas. Keinginannya pada kehidupan ini sederhana, ia hanya ingin sebuah rumah tangga bahagia dengan suami yang mencintainya tulus serta anak-anak yang sehat dan ceria. Asih tidak ingin cerita kelamnya terjadi pada anak-anaknya. Karena sebuah perpisahan, Asih harus hidup dan tumbuh bersama kesendirian dan kesepian. Bersama bayang-bayang romansa keluarga cemara, Asih kecil berusaha hidup dengan baik. Dan bertekad, jika sudah menikah nanti ia takkan mengulang sejarah kelam pada keturunannya.

Tapi, itu semua hanya keinginan dan rencana.

Tok.. tok... tok...

Suara ketukan pintu kamar menyadarkan Asih dari lamunan.

"Mah..."

"Iya, sayang? Masuk aja, pintunya nggak mama kunci."

Kenop pintu berputar. Seorang gadis remaja berusia sembilan belas tahun masuk dan langsung menghampiri Asih.

"Mama kok belum tidur? Mama gak bisa tidur lagi, yah? Mama masih mikirin Papa?" Tanya gadis itu khawatir. Tentu saja, Asih semakin kurus sejak bercerai dengan Hendra.

"Nggak, sayang. Mama cuman mau lihat bintang."

Gadis itu ikut menatap langit malam. Ia tersenyum simpul, langit sangat indah malam ini.

"Mai, maafin mama yah. Mama gagal memberikan keluarga yang utuh dan harmonis untuk Mai." Mata Asih berkaca-kaca. Antara memikirkan pernikahannya yang gagal, sebetulnya Asih lebih mengkhawatirkan perkembangan Mai, putri semata wayangnya.

"Mama nggak gagal kok. Mama sama papa akan tetap menjadi orang tua terbaik untuk Mai. Mama nggak boleh sedih, apapun yang terjadi pastilah memang sudah yang terbaik." Mai memeluk Asih.

Mendengar kalimat Mai, Asih tersentuh. Lagi, air matanya kembali menetes.

******

Rumah yang ditinggalkan....

Usai sidang perceraian dengan Hendra siang tadi, Asih kembali ke rumah itu. Hanya sebentar. Ia ingin mengemasi pakaiannya dan juga pakaian milik Mai. Sambil menangis, Asih terus memasukkan pakaian demi pakaian kedalam koper besar yang ia bawa. Setelah itu, ia berencana akan menjemput Mai di sekolah.

Selesai mengemas seluruh barang miliknya, Asih melangkah keluar dari rumah yang telah ditinggalinya selama dua puluh tahun itu. Ada perasaan nyeri di ulu hatinya. Rumah itu adalah hadiah pernikahan dari ibu Hendra, mertua yang amat mencintai Asih seperti anaknya sendiri.

Asih tidak dapat membayangkan bagaimana sedihnya wanita yang sudah meninggal tiga tahun silam itu, jika tahu rumah tangga putra dan menantunya telah kandas dan usai.

"Kau benar-benar wanita keras kepala." Sebuah suara mengagetkan Asih yang masih terpatung beberapa saat di halaman rumah itu.

Asih menatap wajah mantan suaminya. Wajah yang mulai berkeriput itu menampakkan wajah gusar pada Asih.

"Aku sudah katakan berpuluh-puluh kali, kita tidak harus bercerai Asih! Kau cukup terima kehadiran Ramaniya!"

"Apa kau lupa janjimu sebelum menikahiku, mas? Aku takkan membiarkan siapapun masuk kedalam rumah tanggaku. Aku benci adanya orang ketiga!"

"Tapi kau akan membuat Mai kehilangan kebersamaan orang tuanya, Asih!"

"Kebersamaan? Apa kata itu pernah terlintas di pikiranmu saat kau mengkhianati aku dan Mai, mas?"

"Sudahlah, Asih. Mohon mengerti, aku mencintai Ramaniya. Ia cinta pertamaku!"

"Kalau begitu cintai saja cinta pertamamu itu selamanya. Harusnya kau selesaikan dahulu perasaan masa lalumu dengan Ramaniya sebelum membangun rumah tangga denganku, mas." Asih berjalan meninggalkan Hendra yang terdiam.

Sampai taxi yang ditumpangi Asih berlalu, Hendra masih terpatung. Ia mencintai Asih dan Mai, ia mencintai keluarganya. Tapi Ramaniya telah hadir dihatinya jauh sebelum Asih dan Mai datang di kehidupannya.

*****

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang