Balada Lorong M

9 1 0
                                    

Harusnya tak usah ku iyakan ajakan hari itu. Pasti hari ini aku tak menangis saat melihat jalan itu. Harusnya ku tolak saja, mungkin saat ini kita tak akan saling menghilang seperti ini. Atau, mungkin kita hanya akan menjadi seorang teman.

Balada Lorong M.

Dari balik jendela kaca busway, nanar aku melihat jalan itu. Lagi, kenangan itu kembali membanjiri memoriku bak hujan lebat malam kemarin.

Ah, menyebalkan!

Dan lihat, oh Tuhan! Air mataku menetes lagi. Lagi dan lagi. Harusnya tak usah begini, kenapa tidak bisa lupa? Kenapa?

Kenangan itu. Siang itu. Sore itu. Malam itu. Bagaimana aku bercerita? Samar-samar aku masih bisa melihat bayangan kita yang berjalan beriringan di pedestrian itu. Langkahmu begitu cepat, mencari tempat yang akan kita kunjungi dengan begitu terburu.

Tinggiku kalah jauh. Langkahku tak sepanjang langkahmu. Kau sesekali berhenti, menungguku untuk menyusulmu. Kau selalu tersenyum melihatku yang berusaha menyamai langkah.

"Ayo, Dek."

Ah, iya! Panggilan itu!

Aku menggeleng. Panggilan itu masih terekam dalam ingatanku. Bahkan suaramu saat memanggilku dengan sebutan itu masih terngiang dalam pikiranku.

Lagi, air mataku terjatuh.

Mengapa air mata karena cinta selalu menyakitkan? Aku bahkan bisa merasakan nyeri dalam ulu hati. Rasanya sakit, andai kau tahu!

Siang itu, dengan tergesa aku mengikuti langkahmu. Memasuki pusat perbelanjaan, menaiki lift, hingga kemudian sampai pada tujuan kita di siang itu. Atau lebih tepatnya, ajakan hari itu.

Aroma popcorn menguasai penciumanku sesaat memasuki tempat itu. Berbagai poster film, memenuhi tiap sudutnya.

Kau berjalan lagi di depanku. Sigap mencari ruang itu. Sebuah ruangan yang telah menggelap dengan sebuah layar lebar di depannya dan tentu saja suara dari film yang diputar, begitu menggelegar.

Film yang akan kita tonton itu sudah dimulai dari lima belas menit yang lalu. Itulah alasanmu berjalan begitu terburu, menyesal mengapa bisa terlambat padahal siang itu kau yang mengajak.

"Hati-hati, Dek."

Dalam gelap, tanganmu menggapai jemariku. Menuntun pelan menuju seat yang kau pesan. Paling belakang, pojok kanan. Katamu, kursi belakang adalah tempat terbaik jika ingin menonton film di bioskop.

Film horor. Sebuah genre film favoritku. Aku yakin, kau bahkan tak suka dengan film siang itu. Tapi kau mencoba menikmati.

Kita duduk dalam diam. Tenggelam dengan fokus masing-masing. Aku menikmati alur film, sedang kau berusaha melawan kantuk. Dari ujung mata, sebetulnya aku bisa melihatmu yang lagi-lagi menatapku sambil tersenyum.

"Kenapa kau terus melihatku? Fokuslah pada filmnya!"

"Ah, aku tidak suka film horor. Aku lebih suka melihat wajahmu."

Kebohongan besar!

Harusnya hati tidak berdebar saat kau mengatakan itu. Bodohnya, aku malah tersenyum saat kau mengatakan itu. Harusnya aku sadar bahwa kau hanya sedang penasaran saja. Harusnya aku paham saat tatapanmu teralihkan sesaat handphone-mu menampilkan sebuah notifikasi.

Balada Lorong M.

Sore itu, langit mulai berubah warna. Tak ada mendung. Hanya sebuah semburat warna jingga yang menawan. Angin sepoi-sepoi makin mensyahdukan sore itu.

Kita duduk berhadapan. Dalam sebuah kedai kecil untuk mengisi perut yang keroncongan. Aku tidak ingat kita membicarakan apa sore itu. Tapi itu cukup mengasikkan meski kau sesekali masih melihat handphone.

Harusnya aku bertanya siapa itu. Mengapa kau tersenyum saat mengetik pesan pada orang itu. Harusnya. Namun, penyesalan selalu datang terakhir.

Selesai makan, aku ingat kita memasuki sebuah toko buku. Melihat sekeliling ruangannya yang tentu penuh dengan buku. Kau mengikuti langkahku. Kau tahu kalau aku sangat menyukai buku. Kau bertanya banyak padaku. Kenapa aku suka buku, kenapa aku ingin jadi Penulis, atau buku seperti apa yang kusukai.

Kau tahu, kau sangat manis saat itu!

Balada Lorong M.

Malam pun tiba. Rasa lelah sudah menghampiri. Kaki yang seharian berjalan pun mulai terasa pegal. Dalam keletihan itu, kita masih berjalan dengan tawa. Saling melempar canda, tanpa sadar bahwa semua bisa berakhir kapan saja.

"Adek haus?"

Aku mengangguk. Tenggorokanku terasa kering. Sigap kau membelikan minuman kesukaanku. Minuman teh dalam botol yang sangat kugemari. Konon, kau juga tahu botol keberapa dalam lemari pendingin minuman di minimarket yang biasa aku ambil. Aku suka itu!

"Wah, es krim!" Seruku tanpa sadar.

"Adek mau makan es krim?" Tanyamu tanpa butuh jawaban.

Kau menarik lenganku menuju toko es krim itu, tanpa sempat aku menolak. Di depan kasirnya, kau memesan dua es krim coklat meski katamu kau tidak terlalu menyukai sesuatu yang terlalu manis.

Balada kita mulai dari situ. Saat kau membuka dompet untuk membayar, aku melihat foto itu. Sangat samar, tapi masih bisa kulihat fotomu dengan seseorang.

Kau nampak salah tingkah, saat aku melihat foto itu. Kau buru-buru menutupnya kembali. Kemudian tersenyum canggung.

"Itu foto siapa?"

"Hmmm.... ada deh."

Balada Lorong M.

Harusnya, aku memaksamu memberitahu. Sebelum perasaanku mengembang dan mendalam. Harusnya juga kau bercerita, bahwa aku tidak boleh melewati batas.

Harusnya aku tidak boleh semudah itu menyukaimu. Harusnya juga kau tak usah semanis itu padaku. Maka, aku takkan sesakit ini sekarang. Maka, aku takkan sepatah ini sekarang.

Balada Lorong M.

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang