Perempuan yang Mencintai Anpanman

25 3 0
                                    

Biar bagaimana pun aku bercerita saat kamu mulai bertanya, aku masih tetap tak bisa berkata jujur. Jujur untuk bercerita bahwa sumber dari semua ketakutan ku ini bermula darimu. Ah, tidak! Aku salah. Harusnya bukan kamu, tapi aku. Aku yang dahulu terlalu berharap padamu. Aku yang dahulu terlalu mendewakan mu.

Tapi meski begitu, aku tetap tidak berkata apa-apa padamu. Meski sebetulnya kamu sudah meminta ku tuk bercerita.

Aku takut kamu malah berbalik merasa bersalah dan mengutuk diri. Biar aku tetap simpan saja perasaan perih ini tuk tetap melihatmu tersenyum.

"Hei, sudah lama? " Aku mendongak. Melihat senyum itu merekah kembali, sejujurnya mencuatkan perasaan sakit pada hatiku. Aku ingin berteriak padanya. Mengatakan, iya aku sudah lama gila karenamu!

Tapi, lagi-lagi nyaliku tak sekuat itu tuk berteriak padamu.

"Nggak, kok. " Aku tersenyum tipis.

"Maaf yah, kamu harus menunggu jadinya. Terlalu banyak pelanggan hari ini. "

"Bukankah itu malah bagus? Kamu bisa menabung nantinya. "

Lelaki berahang tegas itu mengangguk. Bahkan setelah tiga tahun berpisah, ia masih sama. Tetap seperti dahulu.

"Sedang menulis cerita apa hari ini? " Ia ikut duduk di sebelah ku.

"Tidak ada. Hanya melanjutkan naskah novel yang sempat tertunda. " Aku terus fokus pada layar laptop ku.

Bekerja sebagai seorang penulis merupakan impianku sejak kecil. Dengan menulis, aku bisa menciptakan dunia ku sendiri. Membuat berbagai tokoh untuk mengisi kesepian ku.

"Wah, wanitaku memang hebat! " Ia mengelus pucuk kepalaku pelan. Aku terkesima. Tanganku bergetar. Setelah apa yang terjadi, dia masih bersikap seperti tak terjadi apa-apa.

Begitu mudah kah kamu melupakan kesalahan yang kamu ciptakan?

"Ah, iya... " Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku hanya bisa tersenyum getir.

"Mmmm.... Lagu Korea? " Aku memutar kepala menghadapnya. Ia sudah memakai earphone yang masih terhubung pada laptopku. Sebelum ia datang, memang tadi aku sedang mendengarkan musik.

"Iyah, itu lagu solo dari salah satu member BTS. Namanya Kim Seokjin, judul lagunya Epiphany. "

"Waaah, sejak kapan kamu suka lagu BTS?" Dia nampak tak suka. Ia melepaskan earphone itu dan menatap ku aneh.

"Apa sekarang kamu sudah menjadi Army? Penggemar BTS? "

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Memangnya kenapa? Mereka boyband hebat dan berbakat. Penggemar mereka juga banyak. " Aku terheran dengan reaksinya.

"Mereka itu plastik. Tulang lunak, tak beragama. Mereka itu cuman sekumpulan laki-laki yang suka memakai make up seperti wanita. "

Aku terdiam. Menatap wajah lelaki yang kucintai itu lamat. Mencari sebuah kesadaran diri dengan kalimat yang barusan ia lontarkan.

"Diantara banyaknya boyband di dunia ini, kenapa harus mereka? Kenapa harus BTS? " Kini ia tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah menyukai BTS adalah hal yang lucu lagi hina.

Kenapa?

Aku mengulang pertanyaan itu dalam hatiku. Aku tersenyum kecut. Andai ia tahu, bahwa BTS bukan hanya sebuah grup boyband menurutku. Mereka adalah obat untukku. Melalui lagu-lagu mereka, aku sedikit demi sedikit bangkit dari keterpurukan.

Tidakkah ia tahu, dengan mengikuti tiap cerita BTS aku kembali tersenyum. Dengan tingkah laku tiap member yang apa adanya, membuatku sedikit terhibur?

Mereka menyembuhkan ketakutanku. Kesakitan ku yang di timbulkan olehnya. Sadarkah dia, bahwa aku pernah depresi karena perkataannya tiga tahun lalu?

Sadarkah?

"Benar. Diantara boyband di dunia ini, kenapa hanya malah BTS yang tidak kamu sukai? Mereka melakukan apa memangnya sehingga kamu sampai mencap mereka sebagai sekumpulan tulang lunak? Apa? Kenapa? Kamu bahkan tidak mengenal mereka, bagaimana kamu bisa sebenci itu pada orang yang tidak kamu kenali? "

Lelaki itu terdiam. Sadar telah menyinggung perasaanku.

"Ah, itu... "

"Setidaknya, mereka tidak pernah menyakitiku. Mereka tidak pernah berujar sesuatu yang buruk padaku. Setidaknya, mereka tidak pernah meninggalkan aku di saat yang paling buruk. "

Dia semakin terdiam. Menatap mataku dalam. Untuk sesaat, kami saling pandang.

Ku harap kamu menemukan kesedihan yang belum sembuh di mataku.

******

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang