Penyesalan

35 6 0
                                    

Reuni Akbar
Selamat Datang Para Alumnus, SMP Kembang Bangsa Angkatan 2014

Aku mengeja kalimat yang tercetak di baliho berwarna hijau itu. Baliho itu tergantung cukup besar di pintu gerbang masuk sekolah.

Dahulu, ini adalah tempatku menimba ilmu selama tiga tahun lebih. Rasanya banyak yang berubah dari sekolah ini, lebih luas dan asri. Dulu sekali, pohon mangga di depan ini masih kecil, sekarang sudah besar dan bahkan sudah berbuah.

Aku tersenyum. Rasanya agak geli, aku kembali menginjakkan kaki setelah sepuluh tahun lulus dari sekolah menengah pertama ini.

Perlahan, aku memasuki halamannya. Rumput hijaunya telah terganti dengan semen. Aku mengedarkan pandangan, sebuah panggung berdiri di tengah-tengah lapangan. Ada banyak alumnus yang datang ternyata.

Lagi, aku memutar kepala ke sebelah kanan. Ada sebuah kelas disudut sana, bertuliskan 9A kalau tidak berubah namanya. Dahulu, itu adalah ruang kelas ku. Disebelahnya ada kelas 9B dan itu adalah kelas, Aisyah. Gadis yang menjadi bagian kisah ku di SMP ini.

Aku tersenyum. Bagaimana kabar Aisyah? Apa dia masih sendiri? Ah, aku berharap dia masih lajang seperti janjinya kemarin sebelum kami memutuskan kontak untuk waktu yang lama.

Aku tak sabar ingin bertemu Aisyah, apa dia akan datang? Ah, biasanya dia akan datang. Dia sangat rajin mengikuti acara reuni seperti ini. Ia ramah dan memiliki banyak teman.

Aku ingin mengatakan padanya, bahwa hubungan kami sudah direstui oleh keluarga ku. Kami tak perlu lagi menyembunyikan setiap cerita cinta kami dari orang lain. Kini, kami bebas menceritakannya pada siapapun tanpa takut ketahuan seperti dahulu.

Aku sangat ingat, ketika suatu hari ia menangis karena menerima penolakan dari Ibuku. Ibuku tak setuju dengan hubungan kami lantaran latar belakang Aisyah yang merupakan anak adopsi dari panti asuhan. Ibu mengatainya dengan kalimat-kalimat yang kalau dipikir-pikir cukup menyakitkan.

Aisyah juga pasti tak ingin terlahir seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, manusia tidak berhak menentukan alur hidupnya sendiri. Tapi aku juga waktu itu tak bisa membela Aisyah, Ibu punya riwayat penyakit jantung dan aku takut membuatnya terluka jika membela Aisyah.

"Sepertinya, untuk sementara kita harus berpisah Aisyah. Maksudku bukan berpisah, putus. Aku ingin kamu tetap menjadi kekasihku dan mau menungguku meyakinkan Ibu untuk menerimamu. " Aku menggenggam tangannya untuk yang terakhir kali sebelum pada akhirnya kami betul-betul kehilangan kontak.

Tapi aku yakin betul, bahwa Aisyah akan tetap menungguku meski aku tak pernah memberi kabar bertahun-tahun setelahnya. Ia pasti paham padaku!

Saat memikirkan hal itu, aku melihatnya kembali. Gadis dengan lesung pipit itu datang dengan riang sambil melambaikan tangan ke teman-teman alumnus yang lain.

Aisyah, dia masih sama. Periang dan ramah.

Aku bergegas mendekat. Rasa rinduku telah membuncah. Tak ada gadis lain yang berhasil mencuri tempatnya di hatiku. Aku ingin mengikatnya secara resmi.

"Aisyah! "

Aisyah berbalik. Manik matanya terlihat terkejut dan senyumnya yang sedari tadi mengembang perlahan memudar, kemudian secara refleks menutup mulutnya.

"Astaga! Farhan?! "

Aku suka keterkejutan nya. Ini artinya dia benar-benar menantikan ku.

"Halo, apa kabar? " Aku tersenyum canggung. Kupikir akan sama seperti dulu, ternyata agak sedikit canggung.

"Oh halo, Alhamdulillah aku baik. Kamu bagaimana?" Suaranya hangat seperti dahulu.

"Ah, aku juga baik. Kamu semakin cantik, Aisyah. " Aku tersipu. Padahal aku yang memuji.

Aisyah diam, ia hanya tersenyum. Ia tak membalas pujian ku.

"Mamaaaaaaaa..... " Tiba-tiba seorang anak kecil berlari dan memeluk pinggang Aisyah.

"Mama, kenapa gak nunggu Bagas sih? " Ujar anak itu cemberut. Aisyah tersenyum sambil mengelus rambut anak lelaki itu.

Ah tunggu, Mama?

Aku terbelalak. Apa aku salah dengar? Anak itu memanggil Aisyah dengan panggilan Mama?

"Hai, sayang. Ini minuman mu. " Belum terjawab kebingungan ku, seorang lelaki berwajah oval tiba-tiba juga datang sambil menyerahkan bungkusan plastik indomaret kepada Aisyah. Lagi, Aisyah hanya tersenyum sambil menerima bungkusan itu.

"Terimakasih, Mas. "

"Aaa Aisyah... " Suaraku tercekat.

"Ah iya, kenalkan ini Mas Dimas. Mas, ini Farhan. " Aisyah saling memperkenalkan kami.

"Halo, saya Dimas. Suami Aisyah. "

"Sssuami?? " Aku ingin meyakinkan diri, pendengaranku apakah bermasalah?

"Iya, betul. Aku dan Mas Dimas menikah lima tahun lalu, dan ini Bagas putra pertama kami."

Aku melirik bocah itu. Aku baru sadar, bocah itu memang sangat mirip dengan Aisyah.

"Ayo, Bagas. Salim sama Om Farhan. "

Bocah laki-laki itu meraih tanganku yang seketika terasa kaku. Suami? Anak? Menikah? Lima tahun lalu? Aku mendadak linglung.

Nanar aku memandang wajah Aisyah yang masih mengguratkan senyum. Apa ia tidak sadar dengan kebingunganku ini? Sejak kapan ada lelaki lain?

"Mas, bisa tolong bawa Bagas bermain di ayunan itu? " Pinta Aisyah pada Dimas.

"Oh iya, tentu. Ayo Bagas, kita main ayunan! "

"Yeeeee! "

Sepertinya Aisyah sengaja. Ia ingin berbicara empat mata padaku. Dan iya, aku juga butuh penjelasan darinya.

"Kenapa? " Kata itu lolos dari bibirku. Aku merasa semua ini tidak nyata. Tolong, sadarkan aku jika ini benar-benar nyata sebuah mimpi!

"Farhan, seperti yang kamu ketahui hubungan kita tidak direstui Ibumu. Aku tidak ingin merusak hubungan antara kamu dengan Ibu dan juga keluargamu sendiri. "

"Tttapi kan, aku sudah berjanji aku meyakinkan Ibuku untuk menerimamu. Dan sekarang beliau sudah setuju, kenapa kamu malah menikahi pria lain? " Suaraku lebih terdengar seperti cicitan.

Aisyah menghela napas. Kemudian menatap mataku dengan sorot yang tak bisa ku artikan.

"Tapi aku terlanjur kecewa. Kamu terlalu lama untuk meyakinkan Ibumu, aku seorang wanita yang butuh kepastian. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, kamu bahkan tak memberiku kabar. "

Aku tertohok. Aku pikir ia akan mengerti dengan ku yang tak suka mengirim pesan teks atau telpon. Aku lebih suka bertemu langsung seperti ini.

"Mas Dimas datang langsung kerumah ku, membawa serta kedua orang tuanya dan menerimaku dengan hangat. Tak pernah menyinggung latar belakangku. Aku merasa di hargai. " Cecar Aisyah.

"Aku tak dendam padamu ataupun Ibu yang pernah menghinaku. Tapi aku sakit hati dan tersinggung, kamu bahkan tak membelaku waktu itu meski sepatah katapun."

"Aku tahu, kamu mencintai ibumu. Tapi kamu juga harus tegas, karena aku dulu berstatus sebagai kekasihmu . Tapi kamu diam saja, waktu keluargamu menghina latar belakangku habis-habisan. "

"Aaakkku... "

"Farhan, kita tidak berjodoh. Ku harap kamu benar-benar bisa menemukan wanita yang disukai Ibumu. " Ia tersenyum, lesung pipitnya menyembul di kedua pipinya yang kini terlihat sedikit berisi.

"Aku pergi. " Ia menepuk bahuku pelan, sebelum akhirnya benar-benar pergi.

Aisyah dengan keluarga kecilnya. Harusnya aku yang menjadi pendampingnya, bukan lelaki bernama Dimas itu!

Kakiku bergetar hebat, rasanya aku ingin tumbang. Aku memilih keluar dari lingkungan sekolah itu, sebelum aku benar-benar akan tumbang di sana.

"Kenapaaaaa... " Aku marah. Sangat marah!

Usahaku dalam meyakinkan Ibu terasa sia-sia. Aku mengutuk diri karena tidak memberikan kabar atau perkembangan tentang hubungan kami.

"Aaaarggg.... " Aku memukul stir mobil dengan emosi.

*****

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang