Sabrina

19 2 0
                                    

Rumah itu berdiri gagah. Dengan balutan cat putih gading serta sentuhan klasik ala rumah bangsawan Eropa tempo dulu, makin menyiratkan bahwa pemilik rumah ini tentu orang yang berada. Halamannya juga luas, ada air mancur kecil di sana. Sebuah patung bocah kecil yang membawa kendi yang memancarkan air.

Pagar rumah ini tak kalah megah. Menjulang tinggi dengan ujungnya yang runcing. Aku takjub. Rumah yang begitu mewah. Rumah ini lebih mirip istana, menurutku. Kira-kira seberapa berada-nya pemilik rumah ini?

"Hei, Cha! Ayo masuk." Sebuah tangan menarik lenganku untuk masuk ke dalam rumah itu.

Tuhan!

Jika aku takjub pada desain eksterior rumah ini, aku tak bisa-bisa berkata-kata lagi melihat interiornya. Anggap saja norak. Iya, memang sedikit kampungan. Tapi, lihatlah! Lampu yang bertengger di atas kami ini sungguh indah!

Kira-kira berapa harganya?
Dimana lampu indah itu dibeli?
Produk luar negeri kah?
Bagaimana cara mereka mengganti bola lampunya?
Oh iya, dimana saklar-nya?

Berbagai pertanyaan berseliweran di kepalaku. Tak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang, aku terus mengedarkan pandangan. Lukisan antik, furniture klasik, dan guci-guci besar yang berdiri di setiap sudut rumah. Aku terpana. Kira-kira pemilik rumah ini memiliki penghasilan berapa? Lagi, aku bertanya-tanya sendiri.

"Cha, itu orang tua Sabrina." Melly menyikut bahuku.

Aku mengikuti pandangan Melly. Di sana, di samping sebuah karangan bungan besar, berdiri sepasang suami-istri dengan setelan serba hitam. Si suami tampak menundukkan kepalanya, dalam genggaman lelaki itu aku melihat sebuah sapu tangan putih. Mungkin, untuk menghapus air matanya.

Wanita disebelahnya malah berdiri tegak. Sorot matanya tajam menatap peti kayu dihadapannya. Wajahnya terlihat garang, tak ada raut kesedihan di sana. Mungkin ada, tapi dia mencoba menyembunyikannya. Aku tak tahu.

"Aku dengar, ibunya yang membuat Sabrina seperti itu." Melly menatap peti kayu itu dengan wajah pias. Maklum, sahabatnya Sabrina terbaring didalamnya.

"Kenapa?" Tanyaku tak paham. Bukankah semua orang tua memang menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya? Mungkin, kecuali ibuku. Karena aku cuman anak angkat.

"Ibunya terlalu keras mengajari Sabrina. Dia selalu di tekan untuk jadi yang terbaik. Harus mengikuti banyak kelas tambahan, nilai harus sempurna, dan aturan-aturan lainnya. Sabrina hanya boleh belajar dan belajar. Kasihan sekali dia."

Aku mengangguk. Hidup yang terlalu keras untuk seorang Sabrina. Ah, aku pikir hidup seperti itu memang tak layak untuk Sabrina yang menyukai kebebasan dan ketidak aturan hidup.

Ah, apa ibunya tahu yah kalau Sabrina pernah bolos sekolah dan melimpahkan tugas-tugas sekolahnya padaku? Nilai sempurna? Bahkan aku yang membantunya dalam ujian.

Pandanganku tetap fokus pada wanita itu. Tangannya terlihat mengepal. Mungkinkah ia menahan amarah? Tentu saja. Putri tunggalnya ditemukan tewas di belakang gedung sekolah, diduga ia melompat dari atas rooftop.

Pandanganku beralih pada karangan bunga besar di sebelah wanita itu. Tepat di tengah karangan bunga yang berbentuk lingkaran, sebuah figura terpajang. Dalam figura kayu itu, foto Sabrina yang tersenyum terlihat jelas. Ia gadis yang manis.

Sebagai teman semeja yang baik, aku sering merasa prihatin dengan Sabrina yang sangat merindukan kebebasan, seperti anak-anak lain yang bisa bebas kemana saja. Ia selalu mengeluh dan aku selalu setia mendengar keluhannya.

Tapi terkadang Sabrina tidak kenal tempat dan waktu dalam membicarakan masalah-masalah aturan ibunya. Pernah tengah malam, ia menelponku hanya untuk mengeluh tentang ibunya yang memaksanya memakan beberapa potong daging ikan salmon. Ibunya percaya, kalau daging ikan salmon segar dapat meningkatkan kecerdasaan otak.

Sabrina menolak, karena memang ia tidak suka semua jenis ikan. Tapi ibunya tetap memaksa. Aku jengah. Aku ingin tidur. Persetan dengan semua keluhannya. Apa ia tidak tahu kalau setiap malam aku harus mengikat perut untuk menahan lapar? Dia tidak pernah tahu kalau ibuku bahkan lebih kejam. Mentang-mentang hanya anak angkat, aku harus terus mengalah pada adik laki-lakiku. Aku hanya diperbolehkan makan jika adik sialan itu menyisakan makanannya untukku. Sialnya, adikku itu selalu dengan sengaja menghabiskan semua makanannya agar aku tidak mendapatkan jatah makan. Begitu sering, hingga rasa lapar menjadi bagian dari hidupku.

Aku muak pada ibu dan adik laki-lakiku itu, tapi aku lebih muak pada Sabrina yang terus mengeluhkan kehidupan mewahnya padaku.

"Jadi, bagaimana menurutmu tentang ibuku Cha? Bukankah dia sangat pemaksa?" Tanya Sabrina sore itu. Ia mengajakku naik ke atas rooftop gedung sekolah untuk membicarakan ibunya.

"Aku pikir juga begitu."

"Huh, bagaimana caranya agar terlepas dari semua aturan ibuku yang menyebalkan?" Sabrina menghela napas.

"Kau benar-benar ingin tahu caranya?"

"Yah, tentu saja. Kau punya solusi, Cha?" Sabrina menatapku harap. Aku mengangguk pasti.

"Ayo, bagaimana? Katakan cepat!" Sabrina mengguncang bahuku.

Ck, dasar tak sabaran!

"Caranya gampang. Sekarang, coba berdiri di sana!" Aku menunjuk pembatas rooftop yang dibangun setinggi dada.

Sabrina semangat. Ia langsung naik dan berdiri di atasnya.

"Wah, tinggi banget Cha! Semua orang terlihat kecil dari sini!" Seru Sabrina kegirangan.

Aku tersenyum.

"Sekarang, tutup kedua matamu dan bentangkan kedua lenganmu." Ujarku sambil mendekat kearahnya.

Sabrina menurut. Aku senang. Dia memang teman yang penurut.

"Wah, rasanya seperti mau terbang!"

"Kau ingin terbang, Sabrina?"

"Iya!" Jawabnya yakin.

"Baiklah, aku akan membuatmu terbang!" Aku mendorong kaki Sabrina dengan cepat.

Ia kaget tapi tak sempat memberikan respon.

Aaaaaaaaaaaaaaa..........

Bruk!

Suara teriakan Sabrina terhenti. Aku melongok kebawah. Dari atas sini aku melihat tubuh Sabrina yang sudah berlumuran darah. Aku tersenyum. Sekarang kau sudah bebas dari aturan-aturan ibumu!

"Cha, ayo!" Suara Melly menyadarkanku dari lamunan.

Dengan pelan, kami meletakkan bunga krisan putih dihadapan figura foto Sabrina. Aku tersenyum simpul pada foto itu.

Bukankah kau harus berterimakasih padaku, Sabrina?

*********

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang