Adele

33 5 0
                                    

"Rasanya tidak mungkin, Adele mendapatkan surat panggilan orang tua. Bukankah dia siswa teladan? "

"Iya, aku juga berpikiran seperti itu. Tapi, wali kelasnya sudah menelpon ku lima belas menit yang lalu. Kau harus pergi, aku sedang tidak bisa. Ada rapat penting. "

Aku menghela napas. Selalu begitu, ada rapat penting, ada urusan mendadak atau ada klien dari luar negeri. Dia selalu mengelak dari tanggung jawabnya sebagai seorang Ayah, menyebalkan.

Astaga, aku kesal sekali!

"Ya sudah kalau begitu, bukankah kau memang selalu seperti ini? Mengelak dengan dalih sibuk. Apa menurutmu aku juga tidak sibuk? " Cecarku pada akhirnya.

"Sudahlah, berhenti mendebat ku sekarang. Wali kelas Adele sudah menunggumu! " Astaga, nada itu. Apa dia pernah berpikir kalau Adele adalah putrinya?

Aku mengangguk, mematikan telepon harusnya jadi solusi terbaik. Dia benar, aku tidak boleh mendebatnya. Aku tidak boleh mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang bisa menyudutkan nya. Termasuk, kenapa dia tiba-tiba ingin berpisah dan tak mau mengambil hak asuh Adele.

Padahal aku bukan Ibu kandungnya, batinku.

****
Meski bukan putri yang ku lahirkan, aku entah kenapa tak bisa menolak keinginan atau perintah yah tepatnya?

Ah iya, ini sama dengan perintah. Bahkan tak ada kata tolong di awal kalimat jika dia ingin aku melakukan sesuatu untuk Adele. Bahkan ucapan terimakasih!

Menyebalkan, tapi aku tidak bisa menolak.

"Halo, selamat siang. Saya orang tua Adele. " Lagi, aku tersenyum ramah. Aku bahkan tak bisa menunjukkan kekesalan ku.

"Oh halo, Bu. Selamat datang, mohon maaf jika panggilan mendadak ini mengganggu waktu anda. " Sapa wanita berhijab putih itu, wali kelas Adele.

"Oh iya tidak masalah, Bu. Sudah kewajiban saya sebagai orang tua Adele untuk memenuhi panggilan dari wali kelasnya. "

"Silahkan duduk, Bu. " Wali kelas itu menyilahkan aku duduk di salah satu kursi di ruangan guru itu. Di samping ku telah ada Adele yang menunggu kedatangan ku sejak tadi.

Wajahnya terlihat menegang, tanda-tanda kekesalan terlihat di sana. Wajah yang mirip dengan lelaki itu membuatku semakin merasa jengah. Kenapa dia dan gadis remaja ini harus memiliki wajah yang sama, hingga membuatku bahkan tak bisa berkutik jika mendapat perintah dari keduanya.

"Jadi ada masalah apa, Bu? "

"Mmm begini, putri anda ketahuan sedang merokok tadi pagi di toilet sekolah. Saya pikir, anda tidak tahu tentang Adele yang merokok? "

"Hah, apa? merokok? Sejak kapan? " Aku memutar kepala ke arah Adele yang terlihat cuek.

"Sudah berapa lamanya kami juga belum tahu, Bu. Karena Adele tidak mau memberitahukannya. Tapi, rokok dan pemantik ini sudah menjadi buktinya. " Wali kelas itu mengeluarkan sebuah batang rokok dengan pemantiknya.

Ah, tunggu! Pemantik ini bukannya kepunyaan ku? Dari mana dia mendapatkannya?

"Adele, jelaskan pada Ibu kenapa kamu bisa merokok dan sejak kapan kebiasaan buruk itu? " Aku bertanya pada Adele yang terlihat dingin. Tak ada rasa penyesalan di sana.

"Adele, ayo jawab Ibu! " Aku menyentak lengannya.

"Cukup! aku muak dengan semua sandiwara ini! " Teriaknya tiba-tiba.

Aku tercengang, selama ini ia tak pernah menaikkan volume suaranya padaku.

"Apa maksudmu, Adele? Jangan berteriak pada Ibu! "

"Aku bilang cukup! Kau bahkan bukan Ibu kandungku, kenapa kau harus pura-pura peduli padaku?! "

"Aku tahu, kau mau merawat ku karena Ayahku kan? Kau mencintainya meski kalian sudah bercerai dan tetap mau merawat ku karena Ayah. Bukan karena menyayangiku!"

"Andai Ayah menyuruhmu membuang ku, tentu kau mau melakukannya. Menyedihkan! "

Dia berlari keluar. Ruangan itu tiba-tiba terasa panas. Aku terkejut, kenapa dia bisa tahu?

Dadaku naik turun, tanganku mengepal keras. Dari mana dia tahu? Dari mana Adele tahu kalau aku bukan Ibu kandungnya?!

"Aaaaaarghhh!! " Aku berteriak keras. Kenapa rasanya menyakitkan saat gadis remaja itu lantang mengucapkan bahwa aku bukan Ibunya?

Wali kelas itu mencoba menenangkan ku. Tapi tetap saja ini salah. Dari mana? Dari mana? Dari mana Adele tahu?

Pertanyaan itu berputar di kepala ku.

***
Malam sebelumnya...

"Yaaah, ini memang menyebalkan. Tapi aku mencintanya dan tak ingin menolak segala perintahnya. "

"........ "

"Iyah, aku tahu. Aku bodoh dan terlalu membucin padanya. Tapi yah beginilah aku."

"...... "

"Sampai dia terus ingin aku merawat Adele. Aku bahkan bukan Ibu kandungnya jadi tak apa bagiku jika suatu saat dia ingin aku membuang atau bahkan membunuh Adele, aku akan melakukannya. "

"..... "

"Hahahahahaha, aku memang gila. Aku gila karena lelaki itu. Ayah Adele yang membuatku seperti ini. Aku bahkan tak menolak saat ia meminta bercerai kemudian menikah dengan gadis pesantren itu. " Aku menyesap sebatang rokok yang terselip di antara jemariku.

Asapnya mengepul, memenuhi kamarku. Aku tidak ingat jika pintu kamarku sedikit terbuka saat aku sedang asyik bercerita dengan teman lama melalui HP.

Dan dia ternyata di sana, gadis remaja yang ku besarkan itu ada diluar pintu itu.

****

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang