Dewi Amor

53 2 0
                                    

Pukul 10.00 pagi. Mentari bersinar hangat, tenang mengintip dari balik tirai jendela kamar. Suasananya damai. Lengang. Tak ada suara selain suara balikan buku tua. Di kamar itu, Ryan khusuk membaca buku kesayangan milik Dewi. Buku diary bersampul bunga Lavender, bunga favorit Dewi Amor.

Harusnya kamu bersamaku, Wi. Bukan kegelapan itu....

Ryan mendesah.

Sebetulnya, kamar ini terlalu membuatnya sesak. Ada banyak kenangan di kamar ini. Bahkan, semua masih terlihat seperti nyata. Seolah masih ada. Bayangan Dewi yang suka "menculiknya" untuk di paksa mengerjakan PR matematika. Atau saat Dewi di marahi oleh Tante Isma, kamar ini selalu menjadi tempat persembunyian Dewi Amor dan Ryan akan selalu menjadi tempat berlindung nya.

"Kamarnya masih sama, kan? " Ryan mendongak. Tante Isma sudah berdiri di sebelahnya. Tak ada binar semangat lagi, seperti beberapa tahun silam. Mentari diluar bersinar hangat, wajah Tante Isma malah serupa malam tanpa pendar cahaya bulan.

"Iya, Tante. Semua masih sama. "

"Tapi, suara Amor Tante sudah tidak ada lagi. Ia tak berkicau seperti biasanya. Suara itu menghilang dari kamar bahkan rumah ini. " Mata Tante Isma berkaca-kaca. Suaranya bergetar, menahan tangis.

Sama. Ryan juga merasa nelangsa. Hatinya perih. Bahkan air matanya sudah terlalu kering untuk menangisi Dewi kesayangannya yang lebih memilih pergi daripada menetap dengannya.

Lihatlah, Dewi ku. Bukankah kamu terlalu tega dengan wanita yang melahirkan mu, ini?

"Dari jutaan laki-laki di dunia ini, kenapa Amor harus jatuh cinta pada lelaki jahat itu? Kenapa, Ryan? "

Ryan tak menjawab. Tatapannya kosong menatap wajah Tante Isma yang mengguratkan luka.

Aku juga bertanya-tanya, Tante. Kenapa? Aku mencintai Dewi sejak dulu. Tapi, ia tak pernah melihatku. Malah jatuh cinta pada lelaki bajingan yang mempermainkan hatinya.

Pikiran Ryan melayang. Menembus dimensi waktu yang terus menerus menghanyutkannya  dalam sungai kepiluan. Ia tak pernah lupa kejadian itu. Peristiwa tragis yang merenggut Dewi Amor dari kehidupannya.

Waktu itu, pukul 16.10. Langit menggelap. Sebentar lagi, awan gendut hitam di atas sana akan segera memuntahkan beberapa titik air. Harusnya Ryan tersenyum ketika menanti hujan, karena pasti kolam ikan kecil yang seharian tadi ia gali akan terisi oleh air.

Tetapi, melihat Dewi yang berlari dengan penampilan kacau serta air mata, membuat Ryan berdesir. Jantungnya berdegup kencang. Khawatir. Bertanya-tanya.

Ada apa? Apa yang terjadi pada Dewi nya?

Dari balkon lantai dua rumahnya, Ryan bergegas turun. Berlari menuju rumah Dewi yang terletak tepat di depan rumahnya.

"Maaaaamaaa... Kenapa dia tidak memilih Amor? " Teriakan Dewi membuat langkah Ryan terhenti. Ia tak berani masuk. Tentu, ia paham pada maksud Dewi.

"Sudahlah, sayang. Tak apa, masih ada yang lain. Jangan menangis... " Tante Isma menenangkan.

"Nggak, Maaa... Amor maunya diaa.. "

Dari celah pintu, Ryan melihat Dewi yang menangis dan berlari masuk kedalam kamarnya. Andai Ryan tahu apa yang akan Amor lakukan di kamar itu, tentu Ryan akan mencegahnya.

Namun, malang tak dapat dihindar. Amarah dan cinta bisa membodohkan siapa saja.

Saat malam sudah terlihat, langitpun telah menurunkan derai hujan yang sedari tadi di kandung awan. Harusnya ini malam yang damai lagi menyenangkan, tapi Dewi Amor malah mencipta prahara dan trauma.

Ia menggantung nadi kehidupan yang diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan pada seutas tali tambang. Dewi Amor lebih memilih kegelapan daripada kedamaian, ketenangan, Tante Isma, dan juga Ryan.

Ia pergi karena masalah hati. Meninggalkan orang yang mencintainya dengan luka panjang tanpa obat.

Dewi Amor, bukankah kamu kejam?

**********

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang