Aku Ingin Menangis Lega

6 1 0
                                    

Ada banyak hal di dunia ini yang bisa membuat seseorang merasa iri. Kecantikan, kekayaan, ketampanan, kesehatan, pangkat, jabatan, keluarga ideal, ketenaran, anak, suami, istri, pacar, prestasi, kepercayaan diri hingga kesempatan.

Banyak. Banyak sekali. Aku tidak mengelak, aku juga pernah merasa iri. Kepada teman yang jauh lebih cantik menurutku, lebih pintar, lebih kaya, lebih beruntung, dan lebih lebih lainnya. Tidakkan habis pembahasan perihal iri.

Namun, perasaan iri seperti itu entah kenapa hanya bertahan sementara di hatiku. Paling lama mungkin seminggu. Hari berikutnya aku akan kembali tersenyum ceria seperti biasa dan berpikir semua orang punya takarannya masing-masing.

Hmmm....

Semerbak wangi kopi mengalihkan obrolan pikiran dalam kepalaku. Aku suka bermonolog sendiri. Berbicara, bertanya, bahkan meminta pendapat pada diriku sendiri. Entah kenapa itu semua terasa menyenangkan menurutku.

Aku punya teman. Aku punya saudara. Aku punya sahabat. Aku punya rekan kerja. Aku punya tetangga kostan tempatku tinggal. Ada banyak orang di sekelilingku, tapi entahlah aku lebih suka berbicara dengan diriku sendiri.

Lihatlah, bahkan sekarang aku tengah bertanya pada diriku sendiri tentang kopi apa yang akan aku pesan untuk pagi ini.

Aku memperhatikan beberapa menu kopi terbaru yang terpampang di atas kepala barista kafe ini.

Hmmm.... pesan apa yah?

Kopi Latte? Black Coffee? Atau Americano?

Hmmm...

Aku mengetuk-ngetuk daguku. Percakapan antara diriku sedang berlangsung. Kepalaku penuh suara-suara yang berdebat perihal kopi apa yang akan aku pesan.

"Espresso satu, take away."

Aku memutuskan. Aku ingin menyesap rasa pahit pagi ini. Konon katanya kopi espresso memiliki rasa yang pekat dan pahit. Seringkali tidak cocok di lidah para pemula. Tapi aku ingin kopi itu pagi ini. Aku berharap, kepahitan hidupku tidak lebih pahit dibandingkan kopi itu.

"Terimakasih." Ujarku ketika barista kafe ini memberikan pesananku. Sambil berjalan menuju tempat kerja, aku menyesap kopi hitam pekat ini.

Ayyyyaaaaa....pahit sekali!

Aku berjalan pelan, menikmati suasana di kota besar. Untung saja aku mendapatkan tempat tinggal yang dekat dengan kantor tempatku bekerja. Sehingga aku tidak perlu capek-capek naik angkutan umum, berdesakan, dan terjebak macet.

Lagi, sambil berjalan pikiranku kembali meracau. Bercerita apa saja. Terkadang, aku merasa perlu berjumpa dengan psikiater. Aku takut terlalu nyaman berbicara dengan diriku sendiri.

Bukankah tidak bagus?

Hei, tunggu!

Kakiku mendadak terhenti melihat pemandangan itu. Pemandangan yang seketika membuat jantungku berdegup kencang. Lihat, diseberang jalan ini. Seorang anak kecil berseragam sekolah dasar, menangis kencang dihadapan Ayahnya yang tersenyum.

Anak itu menangis kencang sekali, ia memukul badan motor Ayahnya dengan tas mungil yang ia kenakan. Imut sekali. Aku tidak tahu masalahnya apa, perihal apakah yang membuat gadis kecil itu menangis sedemikian keras. Sedang Ayahnya hanya tersenyum melihat kelakuan putrinya.

Beberapa menit kemudian, anak itu berhenti menangis. Ia mengusap air matanya dan tertawa pada Ayahnya. Ia kembali menaiki motor Ayahnya setelah sebelumnya laki-laki paruh baya itu mengusap pelan kepala gadis kecil itu. Seperti memberikan wejangan. Kemudian mereka berlalu. Meninggalkan semuanya seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku diam memperhatikan sedari tadi. Aku iri dengan gadis itu. Apakah aku harus menjadi anak kecil lagi agar bisa menangis selega itu? Aih, aku ingin sekali menangis sekencang itu tanpa perlu malu pada orang-orang sekitar. Rasanya pasti lega dan menyenangkan.

Di usia seperti ini, menangis menjadi makanan sehari-hari. Tapi bukan tangis yang melegakan seperti gadis manis tadi. Di usia ini, aku selalu menangis tanpa suara. Menutup mulut agar tidak kelepasan. Aku tidak ingin menarik perhatian orang-orang. Tapi aku ingin berteriak dan menangis kencang seperti adek manis itu.

Orang-orang tidak perduli padanya, hanya berlalu begitu saja. Sehingga ia tidak perlu malu atau lelah menjelaskan kenapa ia menangis.

Hmmmm...

Aku ingin menangis lega.

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang